JAKARTA (WartaTransparansi.com) – KUHP yang baru disahkan sudah ketinggal dua abad. Karena sebagian besar isi dari pasal-pasalnya mengadopsi undang undang di Amerikami Serikat yang berlaku 200 tahun silam, dan sudah dicabut Mahkamah Agung setempat.
Selain, banyak pasal bahasanya sangat longgar dan multitafsir. Padahal secara normatif sudah menghasilkan hukum positif.
Sehingga tujuannya
dekolonisasi (baju baru) tetapi justru menghasilkan rekolonisasi (menghidupkan baju lama) atau mengudupkan yang sudah mati.
Demikian kesimpulan diskusi KUHP PWI Pusat berjudul “KUHP Baru Karya Dekolonial atau Rekolonial”, yang secara nyata
menimbulkan kesewenang- wenangan. Yang semestinya perdata kok dipidanakan. Juga mangatur hukum acara berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
“Saya mohon pemerintah terbuka menerima aspirasi masyarakat pers. Terkait beberapa pasal dianggap mengancam kemerdekaan pers,” kata Prof. Bagir Manan, mantan ketua Dewan Pers dan Mahkamah Agung.
Prof Bagir menyampaikan materi
“KUHP Baru: Tinjauan Beberapa Problematik Subtansial” dalam diskusi KUHP PWI Pusat berjudul “KUHP Baru Karya Dekolonial atau Rekolonial”, melalui Zoom, Kamis (22/12/2022).
Panel diskusi dilaksanakan di kantor PWI Pusat, Lantai 4, Gedung Dewan Pers, Jalan
Kebon Sirih 32-34, Jakarta Pusat, dengan moderator Agus Sudibyo dan diawali sambutan Sekjen PWI Mirza Zulhadi.
Bagir menegaskan, bahwa jika hukum makin refersif pada negara hukum makin membutuhkan penafsiran.
Refresif itu, lanjutnya, dalam undang undang itu telah menyebutkan atau mencantumkan atau membuat ketentuan yang multitafsir sebagai “karet” untuk memperkuat kekuasaan otoriter.