Muhadjir tidak mau berhenti pada seminar. Harus ada action. Mendirikan usaha itu sekaligus sebagai tanggung jawab keilmuan pertama kali sesuai pesan Quran surah Shaf ayat 3. “Sangat dibenci Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Ilmuwan tidak boleh hanya melontarkan gagasan atau pemikiran teoritis tanpa ikhtiar merealisasi. Pola demikian disebut praksis. Dan praksis ini merupakan bagian tradisi agung UMM yang dibangun Prof Malik Fadjar.
Tradisi agung UMM itu sejalan dengan pandangan filosuf Pierre Bourdiaue bahwa yang terpenting bukan apa yang tereksplisit, diwacanakan, melainkan apa yang tak ternyatakan atau implisit yang hanya dilihat dalam perilaku sehari-hari. Bukan sekadar bicara, berwacana, melainkan action, tindakan.
Jaringan perdagangan
Muhammadiyah pada awalnya memiliki basis massa kalangan pedagang perkotaan. Basis massa atau warga itu diikat dalam jaringan perdagangan kota yang kuat. Hal itu bisa disimak pada kajian Prof Mistuo Nakamura berjudul, Bulan Sabit Muncul Dari Balik Pohon Beringin: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Yogyakarta yang diterbitkan Gajah Mada University Press tahun 1983. Kemudian disempurnakan dalam buku, Bulan Sabit Terbit di atas Pohon Beringin: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Sekitar 1910-2010 yang diterbitkan Suara Muhammadiyah.
Dalam kesejarahannya tercatat secara gamblang tercatat betapa Muhammadiyah tidak saja memperhatikan masalah pendidikan, kesehatan dan sosial tetapi juga melalui bidang ekonomi. Menurut buku Muhammadiyah “Digugat” Reposisi di Tengah Indonesia yang Berubah (editor Nur Achmad dan Pramono U. Tanthowi) terbitan Kompas tahun 2000. Sampai tahun 1960-an keberhasilan pembinaan ekonomi bisa dilihat dengan kinerja perajin dan pedagang kerajinan perak di Kotagede, Yogyakarta, batik dan tekstil di Solo, Pekalongan (Jawa Tengah), Ponorogo, Bangil (Jatim).
Hal yang sama terjadi di tempat lain, sehingga Muhammadiyah telah berhasil membentuk suatu lapisan yang kokoh. Muhammadiyah sampai dikenal sebagai persyarikatan dengan basis pedagang muslim menengah kota.
Dengan basis jaringan perdagangan Muhammadiyah telah menjadi kekuatan kelas menengah yang independen, mandiri sejak zaman pemerintah kolonial Belanda. Dengan jaringan perdagangan memperkuat daya inklusivitas Muhammadiyah. Bahkan jaringan perdagangan lebih menonjol sebagai penopang eksistensi Muhammadiyah daripada aspek teologi. Dimulai dari tekad mandiri secara ekonomi atau swadesi dalam istilah Mahatma Gandhi, di sinilah bersemi benih mandiri secara politik atau berarti merdeka.
Ciri perdagangan itu dinamis, cepat. Cenderung egalitarian. Terbuka. Perdagangan itu berorientasi maju, progfresif. Dengan pijakan perdagangan ini saya kira mempengaruhi watak Muhammadiyah yang progresif, dinamis, terbuka. Demikian pula perkembangan Muhammadiyah cenderung di daerah perkotaan.
Sayang, lewat pertangahan dekade 1960 terjadi perubahan tatanan ekonomi. Ketika pintu ekonomi pasar dibuka lebar-lebar, masuklah multinational corporation (MNC) disertai dengan mencekeramnya pola monopoli dan oligopoli. Muhammadiyah ternyata tidak cukup tanggap dan cepat mengantisipasi perubahan tersebut. Tidak cukup tangguh menghadapi tekanan akibat perubahan itu. Mereka masih berkutat pada ekonomi kekeluargaan, pola-pola tradisional.
Sejak itu perekonomian warga Muhammadiyah, juga umat Islam dan pribumi, mengalami proses marginalisasi yang pesat, semakin terpinggir. Dalam menghadapi proses marginalisasi ini seperti tidak ada pilihan lain bagi warga Muhammadiyah selain menerima apa adanya. Dalam keadaan pasrah dan tak berdaya itulah kalangan pengusaha Muhammadiyah mengalihkan orientasinya kepada jalur pendidikan. Hasil usaha atau modal kerja yang ada tidak diteruskan untuk wirausaha, melainkan untuk menyekolahkan anaknya sampai tingkat tinggi.
Muhammadiyah memiliki perguruan tinggi (saat ini 165) di seluruh Indonesia bahkan sampai Malaysia. Sebagian besar perguruan tinggi itu memiliki fakultas ekonomi bisnis dan ikutannya. Hal itu merupakan sumber tenaga menengah dan ahli pengembangan ekonomi. Ditambah puluhan sekolah vokasinya yang menyuplai kebutuhan tenaga terampil siap pakai.
Sebagai organisasi modernis berwatak inklusif, terbuka, pro perubahan, bersikap adaptif terhadap perubahan masyarakat, Muhammadiyah tidak memiliki hambatan beradaptasi dengan sistem ekonomi perdagangan modern. Meskipun juga tetap bersikap kritis terkait dengan sistem ekonomi pasar bebas, kecenderungan naiknya kekuatan oligopoli, konglomerasi. Tetapi secara keseluruhan Muhammadiyah bisa berkiprah.
Peran ekonomi ini menjadi wacana yang cukup kuat pada dekade akhir 1990-an. Wacana itu cederung berhenti di ranah akademis. Sempat hilang di tengah gemuruh reformasi yang berlanjut pada euforia politik, kemudian muncul lagi di sekitar tahun 2015. Timbul tenggelam seperti batang kayu kering terbawa arus sungai.
Menjelang Muktamar ke 48 Muhammadiyah di Solo 18-20 November 2022, soal membangkitkan kembali perdagangan (bisnis) Muhammadiyah jadi primadona perbincangan. Antara lain didiskusikan secara live di TvMU dengan judul Muhammadiyah Business and Invesment Foum Arah Baru Ekonomi Indonesia.
Seperti yang sudah-sudah apakah hal itu akan berhenti pada wacana akademis?
*) Penulis adalah mahasiswa FK UB alumni SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo.