SURABAYA (WartaTransparansi.com) –Perjalanan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Wakilnya Emil Elestianto Dardak telah sampai di tahun ketiga. Sejak dilantik 12 Februari 2019 lalu, keduanya berupaya maksimal untuk merealisasikan janji politiknya yang terangkum dalam Nawa Bhakti Satya. Lantas, setelah tiga tahun berjalan seperti apa potret kepemimpinan keduanya?
Pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga (Unair) Dr Suko Widodo mengatakan, Gubernur Khofifah memiliki gaya yang excellent. Hal ini dilihat dari konteks dinamika sosial, tidak ada konflik sosial yang besar. Jika terjadi demonstrasi, relatif muncul karena isu dari Jakarta, bukan kebijakannya.
Hal tersebut diungkapkan Dr Suko Widodo, pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga, Surabaya, saat menjadi pembicara pada diskusi bertemna ‘Harmonisasi Pemerintah dan Media – Optimis Jatim Bangkit’ yang diselenggarakan Wartawan Pokja Pemrpov Jatim, Minggu (13/2).
Lebih lanjut Suko menjelaskan, Gubernur Khofifah mampu hadir di tengah masyarakat yang beragam. Komunikasinya yang tegas dan argumentatif menjadikan Khofifah sosok pemimpin yang dibutuhkan. “Komunikasinya tidak mleyak-mleyok, memiliki karakter pemimpin jalan tengah,” tegas pria pengajar di Unair ini.
Menurut Suko, Kofifah cukup aspiratif saat menjadi pemimpin. Filsafatnya mikul duwur mendem jeru, selalu mendengar sekecil apapun suara dan merefleksikannya.
“Dia aspiratif, mampu menjaga harmonisasi dengan manajemen yang dengan baik dengan cara adil. Seperti cara Islam, tidak mempermalukan orang, tidak menghina orang. Itu stylenya, jada yang diterima publik seperti itu,” tegas Suko.
Sementara itu, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menuturkan, untuk menjaga harmonisasi antara media dan pemerintah dalam mendukung kinerja pembangunan di Jawa Timur, maka diperlukan kesamaan agenda pada ketiganya. Jika agenda pemerintah, agenda media dan agenda rakyat ini dapat dipertemukan dalam satu kepentingan bersama, maka dampaknya akan sangat luar biasa.
“Misalnya ketika kita mendorong terwujudnya Desa Devisa. Kalau kita tidak menemu kenali satu per satu tidak akan terjadi akselerasi. Karena Desa Devisa itu harus memiliki produk sendiri, memiliki keunikan, potensial marketnya besar dan harus ada kelompok,” tutur dia.