banner 728x90
Opini  

“Kuburan” Politik Puan Maharani

“Kuburan” Politik Puan Maharani

Tatkala masyarakat makin kepayahan dalam sebulan terakhir ini, gambar-gambar besar berwajah manis di berbagai baliho itu akan tampak menyebalkan. Bersikeras “membanjiri” ruang terbuka dengan baliho merupakan “kuburan” politik bagi PM.

Dalam sebulan ini jumlah penderita Covid-19 dan tingkat kematian harian di Indonesia sempat menduduki posisi tertinggi di dunia. Rumah sakit di berbagai kota sempat tidak sanggup menerima pasien; tabung oksigen sulit didapat.

Sejumlah sektor usaha tidak dapat beroperasi normal di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Sejumlah besar anggota masyarakat jungkir balik untuk memenuhi kebutuhan primer keluarganya.

_Nah_, siapapun yang ingin meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya (baik sebagai calon presiden 2024, kepala daerah, atau anggota legislatif) harus menjawab kebutuhan mendesak masyarakat tersebut. Harus ada aksi nyata membantu masyarakat.

Tentu aksi nyata itu tidak melulu berarti menyebar “logistik” kampanye alias tebar uang. Dengan dana setara satu baliho besar di tepi jalan di suatu kota, misalnya, dapat disusun aksi nyata, yakni membentuk satuan tugas (Satgas) dari pengurus atau sayap partai untuk membantu masyarakat.

Aksi tersebut bisa berupa penyediaan informasi bagaimana penanganan Covid-19 yang efektif & efisien; informasi rumah sakit yang masih bisa menampung pasien; informasi depot pengisian tabung oksigen yang siap pakai; dan sejumlah aksi lainnya.

Peningkatan elektabilitas Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil dalam setahun terakhir, tidak terlepas dari sorotan media yang terus-menerus terhadap kerja-kerja mereka menangani pandemi Covid-19. Kinerja keduanya dipandang positif. Alhasil popularitas, favorabilitas, dan elektabilitas mereka terangkat.

Dari fenomena tersebut, tim kampanye PM mesti lebih kreatif menciptakan aksi yang menghasilkan simpati, bukan bersikeras, lantas menyebar kampanye tandingan bahwa baliho merupakan alat kampanye yang efektif dan efisien. Pasalnya, di zaman tidak normal, “banjir” baliho akan menjadi “kuburan” politik bagi para pemasangnya. (*)