Dalam sepak bola ada industri. Banyak pengusaha yang terlibat di dalamnya. Entah karena buruknya ekosistem sepak bola di tanah air, ada investor sampai mengundurkan diri. Mungkin kapok.
Kini muncul fenomena baru. Beberapa artis hiburan ternama Indonesia membeli klub sepak bola. Sebut saja Raffi Ahmad dengan Rans Cilegon FC (sebelumnya Cilegon United), Gading Marten yang mengakuisisi Persikota Tangerang, atau Youtuber Atta Halilintar yang belum lama ini membeli klub sepak bola Pati FC.
Bahkan, seorang Baim Wong juga berencana untuk berbisnis di dunia sepak bola tanah air. Tidak seperti biasanya.
Padahal, kita sering mendengar bahkan membaca, sejumlah artis ngetop Indonesia lebih memilih bahkan ‘dipersunting’ sebuah partai politik untuk berkompetisi menuju parlemen. Ada pula mencalonkan dan dicalonkan sebagai Gubernur/ Wali Kota/ Bupati.
Maka, hal cukup menarik ketika ada artis memilih investasi dengan membeli klub sepak bola.
Sebuah dinamika bahwa perkembangan pembinaan sepak bola di tanah air, klub adalah pelaku utama pembinaan. PSSI dan klub ibarat dua sisi mata uang. Saling membutuhkan.
Klub punya tugas utama membina sebuah tim atau meningkatkan kualitas pemain. Tujuannya, prestasi dalam pertandingan.
Sedangkan PSSI, menyelenggarakan kompetisi sebagai sarana untuk mengukur kemajuan pembinaan yang dilakukan klub. Dan melalui kompetisi, PSSI dapat memilih pemain terbaik untuk kemudian membela timnas Indonesia.
Sementara, fenomena artis beli klub bola, mungkin baru pertama ini terjadi di tanah air. Beragam alasan mereka lontarkan. Raffi Ahmad misalnya, dalam kanal YouTube The Onsu Family ia mengatakan alasannya, “Senang aja, gue kan cita-citanya mau jadi pemain bola. Dari dulu memang gue pengin main bola,” ungkapnya.
Lain Raffi, lain pula Atta Halilintar. Dengan membeli klub sepak bola Pati FC , sang Youtuber berharap bisa melahirkan pemain-pemain hebat untuk Indonesia. “Bismillah @ahhaps.fc. Semoga bisa ikut bangun sepak bola indonesia! Dan melahirkan pemain2 Hebat untuk indonesia! ASHIAPP!! MERAKYATT!!” kata Atta di akun Instagramnya.
Apapun alasan yang mereka lontarkan saat membeli klub bola, tidaklah penting untuk dibahas.
Saat ini, bagaimana fenomena itu bisa ‘ditangkap’ oleh PSSI untuk ke depannya sehingga publik kembali bisa percaya tata kelola sepak bola di tanah air. Sehat, bersih, profesional dan bermartabat. Jauh dari sentuhan tangan-tangan mafia.
Bagaimana PSSI melihat fenomena itu? Berikut bincang-bincang ringan WartaTransparansi.com bersama Haruna Soemitro, Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI periode 2019-2023.
Pendapat Anda tentang artis membeli klub bola?
Saya melihat dengan keterlibatan para sebutlah selebritis atau selebgram, artis, Raffi, Atta atau yang lain, dampaknya terhadap industri sepakbola luar biasa.
Salah satu, contoh uji coba Rans Cilegon sama Arema. Itu sesuatu yang baru sekali terjadi selama pengalaman saya mengelola sepakbola.
Sejauh ini kan struktur pendapatan klub diperoleh dari tiket penonton, hak siar tv, sponsor. Tapi, dengan adanya artis ini justru berkembang ke hal baru.
Fenomena baru?
Ya, ada Fenomen baru, bahwa ternyata dunia maya ini juga sesuatu yang bisa menghasilkan uang. Bahwa orang yang mau akses itu harus membayar. Meski kecil kalau jumlahnya banyak kan luar biasa.
Jadi mereka itu siarkan lewat Youtube. Tapi kemudian sebelum ingin nonton, mereka harus beli yang dinamakan karcislah. Seolah-olah nonton sepak bola dengan harga karcis Rp10-20ribu. Kalau itu jumlahnya jutaan, semisal Raffi punya follower 55 juta, taruhlah 10 persen yang nonton itu, kalau beli karcis Rp20 ribu, sudah berapa.
Saya dengar waktu Rans uji coba dengan Arema, dari jual tiket di Youtube saja dia sudah menghasilkan Rp1 miliar lebih. Nah, itu sesuatu yang baru sama sekali.
Tentu kita tidak ketahui, bahwa seperti saya yang tidak milenial ini, yang tidak tau potensi itu, ibaratnya mengelola bola dengan cara-cara konservatif, dengan tiket penonton, hak siar, sponsorship, ternyata ada hal baru. Jadi dampaknya luar biasa.
Apakah ini juga bagian dari trust?
Kita harus ingat sepakbola kita menuju industri, dan disitulah bahasa yang selalu ditekankan adalah kepecayaan public. Kalau public sudah punya trust, punya kepercayaan, tentu akan tumbuh berkembang, beriringan dengan minat orang untuk menonton itu.
Menjamin kenyamanan dan keamanan berinvestasi, apakah PSSI memiliki semacam regulasi sehingga ke depannya tidak malah kecewa atau bahkan ‘teraniaya’ dari klubnya sendiri?
Saya kira tidak perlu ada regulasi khusus. Ini kan sudah ranah publik, dan semua orang sudah mengakses, berperan dalam bidang itu. Kita hanya memberikan sebuah tempat untuk mereka bisa berperan secara optimal.
Tentu PSSI hanya bisa memberikan regulasi-regulasi bagaimana kompetisi fair, transparan, betul-betul bisa dinikmati dengan sebuah tontonan yang betul-betul bisa dipertanggung jawabkan.
Tantangannya?
Biasanya yang saya lihat para pendatang baru itu punya ekspektasi yang tinggi. Ditandai dengan jumlah uang yang diinveskan dalam klub sepakbola itu.
Zaman-zaman dulu sebelum para milenial datang, itu menganggap invest sepakbola sesuatu yang dalam jawa “menggais goro’ jadi semacam “menggarami lautan” lah. Uang sudah dicelup tapi tidak kembali-kembali.
Tapi kalau saya melihat cara pengelolaannya even ini seperti dilakukan Raffi, dan kawan-kawannya milenial itu, saya yakin ini akan menjadi atau justru tantangannya pada kita. Pada para pengelola klub yang masih dengan cara-cara konvensional.
Saya sendiri justru sekarang masih terus belajar dengan fenomena dan perkembangan baru. Bahwa kedatangan ini, mereka memberikan angin segar bahwa sepak bola punya harapan besar yang ke depan dengan kita akan memerankan mereka secara optimal.
Menpora meminta PSSI menjaga kepercayaan publik. Membuat aturan-aturan ketat untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan terjadi?
Sekali lagi, PSSI itu hanya memberikan regulasi, pelakunya kan mereka. Kalau kemudian mereka juga ternyata tidak bisa mendatangkan trust yang tinggi terhadap publik, mereka juga akan rugi sendiri.
Tentu, ini adalah sebuah siklus, simbiosis mutualisme, yang tidak bisa kita nafikkan begitu saja, bahwa munculnya sebuah trust bukan hanya perilaku para pengurus PSSI, tapi juga para pengurus klub itu.
Kalau klub itu juga main-main dalam mengelola klub dengan cara-cara yang tidak fair, tentu lama kelamaan akan ditinggal oleh penggemarnya.
PSSI bisa menjamin kompetisi bersih dari praktik kotor?
Kembali bahwa semua ini adalah ranah publik. Ranah di mana semua orang bisa mengawasi, bisa melihat, menjangkau.
Bahwa kemudian PSSI memberikan regulasi, aturannya seperti ini, transfer pemain caranya seperti ini, kemudian jual beli pemain caranya seperti ini, perpindahan houmbase caranya seperti ini, sistem kompetisi-kompetisi seperti ini. Dengan model-model seperti itu kan semua tergantung kepada pelakunya.
Bahwa PSSI tentu berlaku fair dalam penentuan-penentuan skema kompetisi dan lain sebagainya. Tetapi di dalam praktiknya yang tau head to head pertandingan 2×45 menit, adalah para pelaku klub itu sendiri. Kalau bisa berlaku fair, bermain fair play, saya pikir tidak perlu diragukan tentang trust itu. (wetly)