Sebuah Trust dengan Pengelolaan Baru

* Haruna Soemitro dan Fenomena Artis Beli Klub Bola 

Sebuah Trust dengan Pengelolaan Baru
Haruna Soemitro, Anggota Exco PSSI

Jadi mereka itu siarkan lewat Youtube. Tapi  kemudian sebelum ingin nonton, mereka harus beli yang dinamakan karcislah. Seolah-olah nonton sepak bola dengan harga karcis Rp10-20ribu. Kalau itu jumlahnya jutaan, semisal Raffi punya follower 55 juta, taruhlah 10 persen yang nonton itu, kalau beli karcis Rp20 ribu, sudah berapa.

Saya dengar waktu Rans uji coba dengan Arema, dari jual tiket di Youtube saja dia sudah menghasilkan Rp1 miliar lebih. Nah, itu sesuatu yang baru sama sekali.

Tentu kita tidak ketahui, bahwa seperti saya yang tidak milenial ini, yang tidak tau potensi itu, ibaratnya mengelola bola dengan cara-cara konservatif, dengan tiket penonton, hak siar, sponsorship, ternyata ada hal baru. Jadi dampaknya luar biasa.

Apakah ini juga bagian dari trust?
Kita harus ingat sepakbola kita menuju industri, dan disitulah bahasa yang selalu ditekankan adalah kepecayaan public. Kalau public sudah punya trust, punya kepercayaan, tentu akan tumbuh berkembang, beriringan dengan minat orang untuk menonton itu.

Menjamin kenyamanan dan keamanan berinvestasi, apakah PSSI memiliki semacam regulasi sehingga ke depannya tidak malah kecewa atau bahkan ‘teraniaya’ dari klubnya sendiri?
Saya kira tidak perlu ada regulasi khusus. Ini kan sudah ranah publik, dan semua orang sudah mengakses, berperan dalam bidang itu. Kita hanya memberikan sebuah tempat untuk mereka bisa berperan secara optimal.

Tentu PSSI hanya bisa memberikan regulasi-regulasi bagaimana kompetisi fair, transparan, betul-betul bisa dinikmati dengan sebuah tontonan yang betul-betul bisa dipertanggung jawabkan.

Tantangannya?
Biasanya yang saya lihat para pendatang baru itu punya ekspektasi yang tinggi. Ditandai dengan jumlah uang yang diinveskan dalam klub sepakbola itu.

Zaman-zaman dulu sebelum para milenial datang, itu menganggap invest sepakbola sesuatu yang dalam jawa “menggais goro’ jadi  semacam “menggarami lautan” lah. Uang sudah dicelup tapi tidak kembali-kembali.

Tapi kalau saya melihat cara pengelolaannya even ini seperti dilakukan Raffi, dan kawan-kawannya milenial itu, saya yakin ini akan menjadi atau justru tantangannya pada kita. Pada para pengelola klub yang masih dengan cara-cara konvensional.

Saya sendiri justru sekarang masih terus belajar dengan fenomena dan perkembangan baru. Bahwa kedatangan ini, mereka memberikan angin segar bahwa sepak bola punya harapan besar yang ke depan dengan kita akan memerankan mereka secara optimal.

Menpora meminta PSSI menjaga kepercayaan publik. Membuat aturan-aturan ketat untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan terjadi?
Sekali lagi, PSSI itu hanya memberikan regulasi, pelakunya kan mereka. Kalau kemudian mereka juga ternyata tidak bisa mendatangkan trust yang tinggi terhadap publik, mereka juga akan rugi sendiri.

Tentu, ini adalah sebuah siklus, simbiosis mutualisme, yang tidak bisa kita nafikkan begitu saja, bahwa munculnya sebuah trust bukan hanya perilaku para pengurus PSSI, tapi juga para pengurus klub itu.

Kalau klub itu juga main-main dalam mengelola klub dengan cara-cara yang tidak fair, tentu lama kelamaan akan ditinggal oleh penggemarnya.

PSSI bisa menjamin kompetisi bersih dari praktik kotor?
Kembali bahwa semua ini adalah ranah publik. Ranah di mana semua orang bisa mengawasi, bisa melihat, menjangkau.

Bahwa kemudian PSSI memberikan regulasi, aturannya seperti ini, transfer pemain caranya seperti ini, kemudian jual beli pemain caranya seperti ini, perpindahan houmbase caranya seperti ini, sistem kompetisi-kompetisi seperti ini. Dengan model-model seperti itu kan semua tergantung kepada pelakunya.

Bahwa PSSI tentu berlaku fair dalam penentuan-penentuan skema kompetisi dan lain sebagainya. Tetapi di dalam praktiknya  yang tau head to head pertandingan 2×45 menit, adalah para pelaku klub itu sendiri. Kalau bisa berlaku fair, bermain fair play, saya pikir tidak perlu diragukan tentang trust itu. (wetly)