Moeldoko di Antara Pandemi Politik

Moeldoko di Antara Pandemi Politik

Masalahnya di belakang AHY itu SBY. Partai Demokrat itu ya SBY. SBY ya Demokrat. Keduanya tidak bisa dipisahkan layaknya garam dengan asinnya. Jika asin bukan garam, itu bisa saja upil.

SBY itu jenderal politik terhebat setelah Pak Harto. Enam tahun lengser dari kursi presiden tidak membuat dirinya pikun. Kelihatanya memang melo, apalagi ketika Bu Ani wafat, tapi melonya dia itu seperti pohon cemara. Lentur dan kokoh. Hubungan dengan patron lamanya masih kuat. Apalagi namanya juga baik di mata rakyat.

Langkah Moeldoko dianggap oleh SBY sudah nyolok mata ngilani dada (menculek mata dan memegang dada). Amat sangat berhaya sekali. Maka SBY bergerak sangat cepat. Dia ibarat macan yang harus melindungi nyawanya, anak-anaknya, sarangnya dan habitatnya.

Dia tidak mau bernasib seperti Gus Dur yang disingkirkan secara kejam dari rumahnya sendiri. Tidak mau seperti Ical yang dilengserkan secara menyakitkan. Tidak mau seperti Tommy Soeharto yang dikudeta dari partai yang didirikannya. Tidak mau seperti Amien Rais yang dilepas dari jantungnya sendiri.

Politik dinasti

Menurut “ilmu titenologi”, jika SBY sudah cancut taliwondo (berjibaku) sendiri memang masalahnya sebanding dengan kapasitasnya. Sebagai tentara dia sangat mafhum, tidak akan membunuh garangan dengan granat.

Bisa jadi SBY melihat ada kekuatan dahsyat yang tidak terlihat mata di belakang Moeldoko. Sasarannya bukan sekadar AHY lengser, tapi ada motif yang jauh lebih besar. Misalnya penghancuran martabat dirinya. Politik balas dendam. Bisa juga ada drama besar bagian dari pandemi politik Indonesia yang puncaknya diperkirkan terjadi tahun 2024.

Mengapa 2024? Itu momentum lahirnya era baru. Para politisi tua ingin melanggengkan dinastinya. Saat ini tanda-tanda merebaknya politik dinasti semakin kuat. Untuk itu sibuk mencarikan kendaraan dan gizi anak-anaknya. Mungkin juga ada orang tua yang masih ingin berkuasa karena memang kekuasaan itu manis layaknya mengulum permen. Generasi baru juga akan merebut panggung sejarah.

Sekadar urun rembuk kepada Moeldoko – yang saya pernah shalat di masjid yang dia bangun di Mojokerto – jika mau ikut berkompetisi di panggung sejarah 2024, harus berani mereview langkah-langkahnya. Eman-eman jika layu sebelum berkembang.

Rabbi a’lam (Tuhan lebih tahu)

Anwar Hudijono, Kolumnis tinggal di Sidoarjo.