Rabu, 24 April 2024
29 C
Surabaya
More
    OpiniPojok Transparansi150 Tahun Kelahiran KH Hasyim Asy'ari, Maha Guru Pahlawan Kebangsaan

    150 Tahun Kelahiran KH Hasyim Asy’ari, Maha Guru Pahlawan Kebangsaan

    Oleh:  Djoko Tetuko – Pemimpin Redaksi Wartatransparansi

    Alhamdulillah bangsa Indonesia mencatat bahwa tanggal 14 Februari, dimana merupaka hari kelahiran Pahlawan Kebangsaan (baca, Pahlawan Nasional dengan lebih mengedepankan kepentingan bangsa dalam bernegara), bukan sekedar kepentingan umat Islam.

    Hadratus Syeikh (maha guru) Kiai Haji Hasyim Asy’ari,
    merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. Di kalangan Nahdliyin dan ulama pesantren dijuluki dengan sebutan Hadratus Syeikh.

    Ketika maha guru lahir di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871,
    (14 Februari 2021) adalah 150 tahun silam beliau dilahirkan,
    (24 Dzul Qo’dah 1287 H- 7 Ramadhan 1336), wafat 21 Juli 1947 pada usia 76 tahun.

    Mengenang satu abad setengah (150 tahun kelahiran sang maha guru), terutama bagi umat Islam, jauh lebih tepat mempopulerkan sejarah dan perjuangan ulama dan pejuang, daripada selama ini marak dipopulerkan sebagai Hari Valentine (Hari Kasih Sayang).

    Pertama, dalam khazanah berbangsa dan bernegara, melalui proses tirakat atau permohonan kepada Allah SWT menetapkan Pancasila sebagai asas/dasar negara, ketika masih tarik ulur menentukan status negara.

    Baca juga :  Gus Hans : Putusan MK Sesuai Fakta Lapangan, Dukung Pemerintahan Baru

    Kedua, Hasratus Syiekh Kiai Haji
    Mohammad Hasjim Asy’arie bagian belakangnya juga sering dieja Asy’ari atau Ashari ketika mendirikan pondok pesantren Tebu Ireng, pada tahun 1899, sekarang termasuk didalamnya kompleks pemakaman
    Maqbarah, termasuk cucu beliau Presiden keempat RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

    Ketiga, pada tahun 1926, K.H Hasjim Asy’ari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama. Mendirikan NU menjadi bagian perjuangan Islam dunia, bukan sekedar berorganisasi untuk kepopuleran atau kemasyhuran.

    K.H. Hasjim Asy’ari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalanpanji di Sidoarjo.

    Pada tahun 1892, K.H. Hasjim Asy’ari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi.

    Baca juga :  Gus Hans : Putusan MK Sesuai Fakta Lapangan, Dukung Pemerintahan Baru

    Di Makkah, awalnya K.H. Hasyim Asy’ari belajar di bawah bimgingan Syaikh Mafudz dari Termas (Pacitan) yang merupakan ulama dari Indonesia pertama yang mengajar Sahih Bukhori di Makkah. Syaikh Mafudz adalah ahli hadis dan hal ini sangat menarik minat belajar K.H. Hasjim Asy’ari sehingga sekembalinya ke Indonesia pesantren Tebu Ireng, sangat terkenal dalam pengajaran ilmu hadis.

    Hasratus Syiekh mendapatkan ijazah langsung dari Syaikh Mafudz untuk mengajar Sahih Bukhari, dimana Syaikh Mahfudz merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima (isnad) hadis dari 23 generasi penerima karya ini.

    Selain belajar hadis, beliau uga belajar tassawuf (sufi) dengan mendalami Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.

    K.H. Hasjim Asy’ari juga mempelajari fiqih madzab Syafi’i di bawah asuhan Syaikh Ahmad Katib dari Minangkabau yang juga ahli dalam bidang astronomi (ilmu falak), matematika (ilmu hisab), dan aljabar.

    Baca juga :  Gus Hans : Putusan MK Sesuai Fakta Lapangan, Dukung Pemerintahan Baru

    Pada masa belajar pada Syaikh Ahmad Katib inilah K.H. Hasjim Asy’ari mempelajari Tafsir Al-manar karya monumental Muhammad Abduh. Pada prinsipnya ia mengagumi rasionalitas pemikiran Abduh, akan tetapi kurang setuju dengan ejekan Abduh terhadap ulama tradisionalis.

    Gurunya yang lain adalah termasuk ulama terkenal dari Banten yang mukim di Makkah yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani. Sementara guru yang bukan dari Nusantara antara lain Syaikh Shata dan Syaikh Dagistani yang merupakan ulama terkenal pada masa itu.

    Salah satu karya kitab/buku : Sang kiai: fatwa K.H.M. Hasyim Asy’ari seputar Islam dan masyarakat, lainnya.

    Mengenang 150 tahun kelahiran ulama dan pahlawan kebangsaan, mengingatkan kembali bahwa teladan Hadratus Syiekh masih banyak belum dijadikan contoh kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Pancasila dengan Islam Nusantara, bukan berarti meninggalkan ajaran Islam Al-Quran dan Al-Hadits, tetapi berdasarkan kitab suci dan Sunnah Rasul, maka membangun sebuah peradaban umat Islam sesuai dengan nafas kultur dengan simbol-simbol Islam. Itulah implementasi dari “rahmatan Al-alaamiin (rahmatal lilalaamiin)”. Islam menjadi Rahmat seluruh alam. (dari berbagai sumber)..(*)

    Penulis : Djoko Tetuko

    Sumber : WartaTransparansi.com

    Berita Terkait

    Jangan Lewatkan