Demikian pula di stasiun pengisian bahan bakar bunker (SPBB) Gresik hanya melayani 56 dari 87 unit kapal. Dua penyalur solar subsidi, SPBB Kopelra dan Sumber Mitra Kurnia Mandiri (SMKM) khusus melayani kapal antarpulau ke Kalsel, Kalteng, Kaltim dan Kalbar konon berancang ancang menutup usahanya.
Sementara di Bima, Nusa Tenggara Barat dari usulan 125 kapal hanya 85 unit kapal yang disetujui BPH Migas. Hanya di Bima kapal Pelra mengisi solar subsidi tidak di SPBB melainkan di SPBU 5484104 dan SPBU 5484101, ditengarai mengabaikan buku bunker yang disyaratkan Pertamina.
Karena ribet mendapatkan solar subsidi kapal rakyat yang mangkal di Pelabuhan Tanjung Tembaga, Probolinggo memilih solar alternatip. Kapal yang beraktivitas bongkar muat di Pelabuhan Pelindo III itu melayani trayek Probolinggo – Agats, Papua membeli solar industri atau lainnya sekitar 50 ton per trip per kapal untuk dua minggu perjalanan.
Kapal rakyat yang tidak terdaftar dalam lampiran SK.BPH Migas jika ingin tetap beroperasi terpaksa membeli solar industri harganya di atas 8000 rupiah per liter, di SPBB dijual kisaran 5.200 rupiah per liter. Dikawatirkan aturan baru BPH Migas itu akan menyuburkan praktek jual beli BBM di pasar gelap harganya bervariasi, kisaran Rp 6.100-6.300 per liter. Istilahnya minum minyak kencing, oplosan, tongkang di tengah laut atau minyak swasta.
Sebagai gambaran kapal rakyat 500 GT Surabaya – Kalimantan per trip membutuhkan biaya operasional cukup besar dan akan membengkak 40 persen jika menggunakan solar non subsidi. Rinciannya beli solar Rp 28 juta, biaya tambat labuh, sandar, bongkar muat dan clearence untuk mengantongi Ijin Berlayar (SIB) Rp 15 juta, perbekalan ABK Rp 40 juta.
Belum termasuk biaya yang harus dikeluarkan jika terjadi kerusakan mesin, pemalakan saat berlayar atau bayar uang cium pantat (istilah lain ngemel di laut). Setelah dipotong biaya operasional pemilik kapal mendapat dua bagian sisanya dibagi untuk 6-8 ABK sekitar Rp 2,5 – 3,5 juta per orang.
Sebagai catatan sejak dicanangkan program Tol Laut dalam upaya membangun konektivitas, membuka jalur logistik dan menekan disparitas harga, armada Pelra tidak dilibatkan. Faktanya nama Pelra dicatut untuk diabadikan menamai 26 kapal Tol Laut yang terbuat dari kayu itu. Padahal keberadaannnya dikukuhkan Keputusan Menteri Perhubungan (KP 7/AL 3011/Phb.89 tertanggal 28 Oktober 1989 tentang Pengusaha Pelayaran Rakya Indonesia. Aktivitasnya tersurat di Pasal 15,16,17 Undang-Undang 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. (*)
Oki Lukito – Pengurus DPD Pelra Jawa Timur dan Bali & Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim dan Perikanan