Senin, 2 Desember 2024
26.1 C
Surabaya
More
    OpiniTajukPerjuangan NU Kini dan Esok, Setarakan Umat Islam Dunia

    Perjuangan NU Kini dan Esok, Setarakan Umat Islam Dunia

    Oleh Djoko Tetuko – Pemimpin Redaksi WartaTransparansi

    Salah satu faktor Nahdlatul Ulama berdiri pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 Hijriyah), karena perubahan kekuasaan dan politik kekuasaan, juga ajaran kekuasaan membelenggu dunia Islam. Terutama ketika itu situs bersejarah di Makkah dan Madinah, dihancurkan dengan berbagai alasan kurang mendasar.

    Diantara perjuangan melepaskan cengkeraman penjajah Belanda pada masa itu, dengan berbagai perlawanan penguatan kebangsaan dan cinta tanah air melalui pondok pesantren. Ulama NU bukan hanya memikirkan bangsa dan negara Indonesia, walaupun belum merdeka. Tetapi sudah jauh melangkah memikirkan kemaslahatan dunia Islam.

    Almarhum KH Imron Hamzah dalam beberapa kali pengajian rutin Ahad Legi pada tahun 1980-an, menjelaskan bahwa kelahiran NU bukan sekedar kebutuhan ulama membentuk organisasi. Tetapi ada kepentingan lebih besar dan bermakna, yaitu menyelamatkan rencana pembongkaran dan pengrusakan situs peninggalan sejarah Islam di Madinah dan Makkah.

    Dimana sejak pada tahun 1924 Saudi Arabia (Arab Saudi) dipimpin oleh Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi. Aliran ini sangat dominan di tanah Haram, sehingga aliran lain tidak diberi ruang dan gerak untuk mengerjakan mazhabnya.

    Salah satu kebijakan sangat merugikan umat Islam, ketika sejumlah situs bersejarah sudah dibongkar. Bahkan rencana perluasan masjid Nabawi akan menggusur Makam Nabi Muhammad, bersama sahabat Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin Khattab.

    Semasa kepemimpinan Ibnu Saud, terjadi eksodus besar-besaran ulama dari seluruh dunia. Mereka kembali ke negara masing-masing, termasuk para ulama dan pelajar Indonesia yang sedang mencari ilmu di Arab Saudi.

    Aliran Wahabi yang terkenal puritan, berupaya menjaga kemurnian agama dari musyrik dan bid’ah (dengan kekuasaan). Dan beberapa tempat bersejarah, seperti rumah Nabi Muhammad SAW dan sahabat, termasuk makam Nabi Muhammad akan dibongkar.

    Umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah merasa sangat perihatin, kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Suud. Utusan inilah yang kemudian disebut dengan Komite Hijaz.

    Komite Hijaz ini merupakan sebuah kepanitiaan kecil yang dipimpin oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Setelah berdiri, Komite Hijaz menemui Raja Ibnu Suud di Hijaz (Saudi Arabia) untuk menyampaikan beberapa permohonan, seperti meminta Hijaz memberikan kebebasan kepada umat Islam di Arab untuk melakukan ibadah sesuai dengan madzhab yang mereka anut.

    Baca juga :  Menunggu Realisasi Program Prioritas Presiden Prabowo

    Karena untuk mengirim utusan ini diperlukan organisasi formal, maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, yang secara formal mengirimkan delegasi ke Hijaz untuk menemui Raja Ibnu Saud.

    Adapun lima permohonan yang disampaikan oleh Komite Hijaz, seperti ditulis di situs www.nu.or.id tersebut adalah:

    Pertama, memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang tasawuf, aqidah maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha terkenal kebenarannya.

    Kedua, memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat bersejarah yang terkenal sebab tempat-tempat tersebut diwaqafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan bangunan Khaezuran dan lain-lainnya berdasarkan firman Allah “Hanyalah orang yang meramaikan Masjid Allah orang-orang yang beriman kepada Allah” dan firman Nya “Dan siapa yang lebih aniaya dari pada orang yang menghalang-halangi orang lain untuk menyebut nama Allah dalam masjidnya dan berusaha untuk merobohkannya.”

    Ketiga, memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim haji mengenai tarif/ketentuan biaya yang harus diserahkan oleh jamaah haji kepada syaikh dan muthowwif dari mulai Jedah sampai pulang lagi ke Jedah. Dengan demikian orang yang akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan yang cukup buat pulang-perginya dan agar supaya mereka tidak dimintai lagi lebih dari ketentuan pemerintah.

    Keempat, memohon agar semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.

    Baca juga :  Menunggu Realisasi Program Prioritas Presiden Prabowo

    Kelima, Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) memohon balasan surat dari Yang Mulia yang menjelaskan bahwa kedua orang delegasinya benar-benar menyampaikan surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada Yang Mulia dan hendaknya surat balasan tersebut diserahkan kepada kedua delegasi tersebut.

    Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Komite Hijaz yang merupakan respons terhadap perkembangan dunia internasional ini menjadi faktor terpenting didirikannya organisasi NU. Berkat kegigihan para kiai yang tergabung dalam Komite Hijaz, aspirasi dari umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah diterima oleh raja Ibnu Saud. Sejumlah situs berhasil diselamatkan termasuk
    Makam Nabi Muhammad.

    NU Dulu, Kini, dan Esok

    Jika dahulu kala ketika masih zaman penjajahan dan transportasi dunia masih belum modern seperti saat ini, NU sudah berpikir dan berjuang untuk kesetaraan umat Islam dunia, maka kini dan esok adalah keniscayaan membangun dan memperjuangkan kesetaraan umat Islam berperan dalam pembangunan manusia seutuhnya dengan budi pekerti luhur (akhlakul karimah).

    Diketahui, Nahdlatul ‘Ulama (Kebangkitan ‘Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), adalah sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dengan perjuangan dilandasi budi pekerti insyaAllah jauh dari budaya korupsi.

    Sejak berdiri NU konsisten bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Kehadiran NU merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan tradisi keagamaan yang dianut jauh sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah wal Jamaah. Terutama menjaga dan mengawal paham Islam di Nusantraa hasil sentuhan Wali Songo dalam beragama dan bermasyarakat.

    Telah terbukti NU dengan basis pondok pesantren dan kampung santri dengan tradisi ahlu sunnah wal jamaah begitu bermarwah. Karena didorong dan
    dipengaruhi kondisi politik dalam dan luar negeri, sekaligus merupakan kebangkitan kesadaran politik yang ditampakkan dalam wujud gerakan organisasi dalam menjawab kepentingan nasional dan dunia Islam.

    Sejarah mencatat, akibat penjajahan maupun kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan “Kebangkitan Nasional”. Semangat kebangkitan terus menyebar – setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.

    Baca juga :  Menunggu Realisasi Program Prioritas Presiden Prabowo

    Merespon kebangkitan nasional tersebut, Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dibentuk pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).

    Merujuk sejarah perjuangan dari kebangkitan tanah air, kebangkitan pemikiran,
    dan pergerakan kaum saudagar. Kini NU menjelang “tahun emas” (16 Rajab 1344 – 16 Rajab 1444), lebih bermakna jika melahirkan pejuang modern sesuai dengan cita-cita luhur para pendiri.

    Jika dulu, Serikat
    dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

    Maka, kini dan masa akan datang (baca, esok) adalah keniscayaan NU melahirkan pejuang modern, para santri dengan sarjana ilmu pengetahuan sesuai kebutuhan umat Islam di tanah air dan umat Islam dunia.

    Mengapa menyebut pejuang modern? Mengingat banyak sarjana bahkan ada juga dengan lebel santri, justru masih menjadi pelaku korupsi dan menjadi contoh tidak berbudi pekerti dalam mengabdi kepada negeri.

    Adalah keniscayaan NU yang lahir di Kota Surabaya, pertama kali dipimpin oleh K.H. Hasjim Asy’ari sebagai Rais Akbar, kini dan esok akan melahirkan pejuang modern. Dengan baiat atau doktrin bahwa di seluruh lapisan perjuangan memberi contoh sebagaimana Rasulullah diutus atau ditugaskan, “Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan akhlaq (manusia menjadi) mulia”.

    Menyetarakan umat Islam dalam berbangsa dan bernegara, NU melahirkan pejuang dengan keilmuan santri sangat mumpuni dan keilmuan pengetahuan umum (sangat teruji) di bidang pendidikan, ekonomi, kedokteran, sosial-budaya, dan politik. Sehingga menjadi contoh bernegara dan berbangsa yang memegang teguh akhlakul karimah. Mengabdi karena Budi pekerti, mengabdi karena melawan korupsi, mengabdi karena benar-benar berbakti (*)

    Penulis : Djoko Tetuko

    Sumber : WartaTransparansi.com

    COPYRIGHT © 2021 WartaTransparansi.com

    Berita Terkait

    Jangan Lewatkan