Tersingkapnya “Masker” Amerika

Tersingkapnya “Masker” Amerika
Anwar Hudijono

Dia jadi seperti orang kaget. Orang mabuk kekuasaan. Kadang juga seperti edan. Karakternya sebagai bukan orang sekolahan bertemu dengan kekuasaan yang sangat besar. Jadilah sosok yang arogan, urakan, semaunya sendiri.

Di bisnis prinsipnya keuntungan atau cwan itu tidak boleh berkurang, apalagi hilang. Bisnis itu miliknya. Terserah apa mau pemiliknya. Prinsip dan kebiasaan ini mau diterapkan di politik. Jabatan presiden itu dianggap miliknya. Terserah apa mau dia. Bagi dia, bukan hal yang tabu mengangkat anak dan menantunya sebagai penasehat presiden.

Tidak menganggap jabatan itu sebagai amanat yang pelaksanannya ada aturan main. Di samping aturan hukum formal, dalam kehidupan politik Amerika itu juga ada pagar halus berupa moralitas untuk menjaga kekuasaan Presiden tidak diselewengkan.

Lihat saja, dia ingin menjadi presiden lebih dua periode. Aturan hukum bjsa saja dibuat agar jalannya lapang. Tapi dimensi moral melarang Presiden lebih dari dua periode. Lantaran komitmen moral itulah Presiden George Washingtong menolak dicalonnkan ketiga kalinya.

Dia tidak pernah siap akan kehilangan jabatan presiden karena sudah merasa jadi miliknya. Untuk itulah dia bersikap melik nggendong lali. Bukan hanya menyalahgunakan kekuasaan tetapi juga mempertahankan mati-matian. Apapun akan diterjang tak peduli merobohkan pagar demokrasi bahkan mengorbakan nyawa pendukungnya.

Trump memang kelihatan sangat parah. Itu semua karena dia melakukan secara terbuka. Tanpa terdeng aling-aling. Tapi sebenarnya belum terlalu parah. Misalnya, dia belum atau tidak menggunakan polisi dan aparat hukum lainnya (di Amerika disebut wasit ) untuk kepentingan ambisi kekuasaanya. Untuk mengkriminalisai lawan-lawannya.

Dia memang menyerang dan memaki pers, tapi tidak sampai mengkriminalisasi, menekan dengan pajak. Trump tidak tercatat memenjarakan orang yang kritis terhadap dirinya. Intinya, masih adalah kebaikan Trump itu sikik-sikik.

Trumpisme

Trump tersingkir. Tanggal 19 Januari mungkin dunia akan melihat dia keluar dari Gedung Putih. Atau mungkin dia malah diusir karena dimakzulkan. Mata dunia akan menyaksikan dia melangkah dengan memikul buntelan. Air matanya meleleh seperti es ganepo kepanasan. Langkahnya gontai bak mentok ambeien. Sambil misuh-misuh. Nggremeng tak karuan. Sesekali meludah.

Joe Biden naik tahta. Partai Demokrat berkuasa. Apakah compang-campingngnya demokrasi Amerika bisa diperbaiki layaknya menyulam kain yang rapuh? Apakah keruntuhannya bisa dihentikan?
“Tidak ada satu pemimpin yang bisa menghancurkan demokrasi. Demikian pula tidak ada satu pun pemimpin yang bisa menyelamatkan demokrasi. Demokrasi adalah usaha bersama. Nasibnya tergantung pada kita semua,” tulis Levitsky dan Ziblatt.

Sangat tidak mudah bagi Biden memulihkan demokrasi. Kenapa? Trump dan pendukungnya tidak legawa. Mereka sudah membentuk kelompok-kelompok pemberontakan. Bahkan dengan bersenjata. Mereka menunggu pilpres 2024 atau bahkan menjatuhkan Biden di tengah jalan.

Untuk mengunci Trump mungkin dia akan dipenjara. Sudah banyak kasus yang bisa dijadikan cantolan seperti memprovokasi penyerangan anggota Kongres. Melakukan kebohongan. Masih banyak kasus lain.
Tapi Trumpisme sudah terlanjur merebak, mengakar. Ibarat kanker, akarnya sudah menjalar ke beberapa bagian tubuh. Seperti kata Levitsky dan Ziblatt, bisa saja muncul tokoh yang lebih radikal dan ganas dari Trump.

Jangan-jangan merosotnya demokrasi di Amerika ini hanya salah satu tanda bahwa negara superpower itu sedang dalam proses menuju akhir sejarahnya. Pax America segera menjadi fosil.

Tanda-tanda lain, negara ini kepayahan menghadapi pandemi Covid-19. Menjadi negara dengan penderita terbanyak di dunia. Ekonominya juga merosot tajam. Bangunan negara-bangsa seperti pohon besar yang akarnya mulai rapuh, daunnya agak alum. Rayap memangsa bagian dalam batangnya sehingga dari luar kelihatan kokoh, tapi di dalam keropos.

Sejarah mencatat, banyak emperial seperti Romawi, Persia, Turki Usmani, Mongol yang hancur justu dimulai dari dalam. Rabbi a’lam (Tuhan yang lebih tahu).

Anwar Hudijono, kolumnis tinggal di Sidoarjo.