Generasi penerus juga harus disadarkan telah terjadi proses penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa serta perubahan nilai dalam masyarakat. Tanpa pendidikan kemaritiman persepsi mengenai masyarakat di sekitar laut pun dapat mengundang sesat pikir dengan identitas yang lekat dengan kemiskinan, kumuh dan menyeramkan akibat mitos hantu penjaga laut seperti Nyai Roro Kidul.
Sementara lulusan sekolah umum di kota maupun dataran tinggi tidak faham apa itu plasma nuftah laut, atau cerita kapal Phinisi si penjelajah dunia. Termasuk diantaranya pelajaran perjalanan sejarah bangsa yang diharapkan akan mencuatkan rasa bangga. Para pelaut Nusantara menerjang samudra mencapai Madagaskar di Benua Afrika, Daratan Tiongkok, Birma, Srilangka dan Australia.
Era keemasan itu terus berlanjut abad ke-8 hingga ke-16. Munculnya tiga kerajaan besar, Sriwijaya di Sumatra tahun 683 sampai tahun 1030, Singosari dan Majapahit tahun 1293 hingga 1478, adalah fakta sejarah yang menunjukkan bahwa nenek moyang kita lebih cerdas dari generasi penerusnya. Belum lagi manfaat laut yang melimpah ruah, baik dari sektor perikanan, terumbu karang, wisata bahari, bioteknologi, potensi ekonomi pulau kecil hingga kekayaan tambang dasar laut. Tak salah jika pendidikan kemaritiman ini disegerakan karena telah mendapat dukungan politis dan telah mempunyai payung hukum.
Di negara yang tersohor kaya sumber daya laut ini, pemerintah dan pemangku kepentingan di sektor pendidikan misalnya, tidak pernah pula berpikir dan tergerak untuk melahirkan generasi muda bahari, sebagai elemen dasar membentuk karakter bangsa maritim. Sejak prasekolah, sekolah dasar, menengah, hingga perguruan tinggi, generasi pemimpin di masa depan itu tidak mengenyam pendidikan maritim. Bagaimana generasi muda bisa mempunyai wawasan kelautan dan berminat menekuni usaha di sektor berbasis maritim, jika di sekolah umum yang dipopulerkan menggambar keindahan alam di darat saja.
Akibatnya, janganlah heran jika Fakultas Kelautan, Perkapalan, atau Perikanan pada umumnya di semua perguruan tinggi negeri dan swasta bukan menjadi pilihan utama mahasiswanya.
Sebagai ilustrasi, sejumlah Fakultas Kelautan dan Perikanan hanya menjadi pilihan bukan nomer satu, ada pula fakultas berorientasi laut yang terpaksa dilebur karena tidak memenuhi kuota karena sepi peminat.
Di sekolah umum, pelajaran berenang seharusnya menjadi olahraga wajib. Dayung, selancar angin, layar atau menyelam yang kental budaya bahari sebaiknya menjadi agenda kompetisi antarsekolah maupun perguruan tinggi. Jadi, jangan berharap kita jaya di laut tanpa generasi mudanya dibekali pendidikankemaritiman dan mendapatkan wawasan dan ilmu pengetahuan kekayaan tambang di bawah laut.
Boleh dikata, keterpurukan kita di laut adalah disebabkan tidak terbangunnya kekuatan maritim yang seharusnya menjadi arus utama negara kepulauan.
Competitive advantage dalam segi geoekonomis, geopolitis, dan geostrategis yang kita miliki untuk apa jika hanya menjadi wacana. Kapan potensi itu membuat kita jaya di laut?
Kegagalan tersebut harus diakui lebih disebabkan lemahnya ocean leadership. Kita harus berpikir radikal dan sejatinya bangsa ini tidak lagi membutuhkan lagi presiden yang land base oriented karena terbukti selama ini kebijakan kelautan dan strategi maritim menjadi cemoohan bangsa lain.
Pemimpin Indonesia yang dibutuhkan kedepan adalah sosok yang mampu mobilisasi sumber daya nasional dalam manajemen pembangunan melalui kelengkapan instrumen fiskal, moneter, keuangan, tata ruang, serta mobilisasi lintas sektor untuk mendukung kekuatan maritim.
Oki Lukito – Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan