Injinkan saya menyebutnya Pak Malik itu politisi tanpa partai. Dia berkiprah di konten politik, bukan pada kemasannya. Dia memberikan rasa dalam politik seperti garam pada semangkok soto.
Salah satu contoh monumental adalah kiprah politik pada reformasi. Beliau itu bergerak di ruh reformasi. Ruh itu bagaikan planet matahari sehingga tidak kelihatan. Yang terlihat pada matahari adalah sinarnya. Dan sinar itu bukan matahari itu sendiri.
Ngaji politik ke beliau itu kita diajak ke relung inti untuk belajar kedalaman politik. Substansinya. Mengungkap misterisnya. Para dalang politik yang menentukan obah mosiking politik itu memberada di relung tersebut. Karena politik itu sering kali yang ada di dalam itu berbeda dengan yang ada di permukaan.
Mengapa beliau tidak mau masuk partai politik? Karena tidak mau bergerak di permukaan. Yang sering kali bergerak mengikuti kehendak porosnya.
MENGANGKAT MUTIARA
Saya menjadi santri beliau sejak sekitar tahun 1983-1984. Pada waktu itu saya masih mahasiswa. Lebih intensif ketika saya sudah menjadi wartawan Kompas tahun 1984. Saya berpandangan Pak Malik itu laksana mutiara yang masih tertimbun lumpur. Sebagai wartawan saya memiliki peluang untuk mengangkat mutiara tersebut.
Lantas saya coba melalui Kompas. Seingat saya, pemikiran Pak Malik yang saya angkat pertama kali di Kompas adalah tentang bangsa ini terjebak pada formalisme kosong.
Pemikiran ini sebenarnya berisi keprihatinan yang mendalam atas kesalahan arah pembangunan. Sekaligus kritik yang sangat keras. Suatu yang sangat penuh bahaya di masa Orde Baru.
Di mana pemerintah lebih mementingkan formalitas seperti angka pertumbuhan ekonomi, konsep trickle down effect (tetesan ke bawah) tapi lekang pada substansi amanat pendiri bangsa yaitu keadilan, kemakmuran yang merata.
Dalam beragama pun banyak yang mementingkan formalitas beragama daripada menjadikan nilai-nilai agama dalam gerakan kehidupan sehari-hari.
Saya tidak mengira jika tulisan saya dimuat di bawah headline halaman 1 (utama). Padahal untuk sosok baru muncul di Kompas itu sangat sulit. Selanjutnya setiap saya nulis beliau, tak pernah ditolak. Bahkan hampir selalu di halaman satu.
Pemimpin Redaksi Kompas Pak Jakob Oetama memberikan perhatian khusus. Pak Jakob menilai, Pak Malik adalah salah satu tokoh pembaruan Indonesia seiring dengan Cak Nur, Gus Dur.
Akhirnya Pak Jakob dengan Pak Malik menjadi sahabat yang baik. Beberapa kali Pak Jakob berkunjung ke UMM. Bahkan namanya dibadikan di salah sat ruangan Perpustakaan UMM dengan Jakob Oetama Corner. Lantaran keakraban mereka pula Pak Jakob diundang menjadi narasumber di Tanwir Muhammadiyah di Denpasar, Bali. Ini juga peristiwa yang sangat langka.
Ngaji terakhir saya kepada beliau menjelang Pemilihan Presiden tahun 2019 di rumah putrinya di Malang. Metode ngajinya tetap seperti biasanya itu diskusi. Saya tahu persis, pemikiran orisinal dan brilian beliau akan keluar deras melalui diskusi. Ibarat mutiara yang digosok, semakin mencorong.
Dan itulah ngaji terakhir saya kepada beliau. Sugeng kundur, Pak Malik. Semoga husnul khatimah. Amin
(Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo)