Oleh Djoko Tetuko (Pemimpin Redaksi WartaTransparansi)
Tampil bak Srikandi tanpa busur dan anak panah, tetapi mampu memanah jauh dengan busur bait Saraswati karya M. Rohanudin, dengan lekuk-lekuk diksi terpatri, membawanya menari-nari.
Meliuk sejenak dalam memanah kata, mengikuti laju anak panah dengan diksi dan detak menghentak tanpa rentak, sang Srikandi Meutya selalu menjadi jati diri memberi selendang Saraswati semakin anggun, dalam aliran air mengalir memakai dewa air.
Saraswati Dewi sungai, Srikandi Meutya Dewi malam apresiasi puisi tanpa hentakan memberikan kabar, “17 Agutsus 1945 bangsa dan rakyat Indoensia mendengar kabar Indonesia merdeka dari RRI, 17 Agustus 2020, setelah 75 tahun merdeka mendengar kabar ‘Merdeka dari Corona’ juga dari RRI”,
Menebarkan selendang sendang Saraswati seakan membawa kabar benar Covid-19, berhenti karena Srikandi Meutya Hafid melantunkan syair mengalir.
Tidak semudah membaca berita atau memandu sebagai presenter bagi mantan wartawan perang yang pernah disandera 168
jam di Rumadi Irak. Tetapi sang Srikandi elok nan rupawati bersanding bersama Saraswati.
Lukisan Saraswati seakan hadir di atas panggung malam apresiasi puisi, ketika Senin malam (17/8/2020) di auditorium Abdul Rahman Saleh RRI, Jakarta, Srikandi Meutya seperti anak panah melaju kencang, berbelok-belok sakti mandraguna, dingin,sejuk, mengalir, memanah
INDONESIA ADALAH SARASWATI
Indonesia adalah saraswati
menunggang angsa menyeberangi laut teduh
di bawah bulan purnama “bulat perak”
angsa-angsa kecil ikut berbaris di belakangnya
dari jauh bulu-bulu mereka berkilau-kilau putih salju bayangannya menuding ke bumi
menggaris tegak lurus, menuliskan cinta yang agung, mengabarkan keperkasaan Indonesia
Indonesia adalah saraswati
tempat ibu menanak ilmu,
membentang dari sabang sampai merauke Indonesia adalah saraswati,
tempat padi tumbuh subur dan berbulir penuh tempat sungai mengalir deras berair sebening kaca tempat anak-anak bertanam dan menjaring akar-akar budaya
lantas menetaskannya dalam tempayan-tempayan kebermaknaan
di tepian pesisir
anak-anak bersorak-sorai menyambut kedatangan ayah meluapkan kegembiraan setelah semalam
membasuh muka “basah air laut”
diterkam ombak, memeluk erat setiap angin sakal
berkali-kali menyebrangi ombak
Saraswati berparas tak berpeluh tersenyum tak berkerut
berbedak sari melati tipis memancarkan Indonesia
berpantun kedamaian abadi
bersumpah palapa
sumpah gajahmada: akan melepaskan puasa
jika telah menundukkan seluruh nusantara,
di bawah kekuasaan majapahit
“Jika telah mengalahkan gurun seram tanjung pura,
haru butuni, pahang dompo, bali, sunda, palembang dan temasih”
amboi…
sungguh perkawinan saraswati telah malahirkan
anugerah Indonesia baru,
segerombolan elang terbang rendah dari utara
Saraswati berdiri tegak di atas bulan
sesekali menundukkan kepala sambil melambaikan tangan untuk ribuan elang
Saraswati, aku tak punya sayap untuk terbang mengejarmu
tapi senyummu menebar wangi madu
nusantara teduh walau jauh di awan lepas
kau payungi kami dengan bayangan rerimbun dedaunan
tak ada hati yang kosong
tak ada jarak yang terbentang walau kita jauh
itulah Indonesia yang sebenarnya
Indonesia yang tanpa darah dan air mata
Indonesia yang mengibarkan merah putih di dadanya
Indonesia yang beribu bernama pertiwi.