Refleksi Mensyukuri Kemerdekaan RI ke 75 Teringat Pesan Mbah Moen: Pahami Watak Penjajah, Terjajah dan Dijajah

Refleksi Mensyukuri Kemerdekaan RI ke 75 Teringat Pesan Mbah Moen: Pahami Watak Penjajah, Terjajah dan Dijajah
Makin Rahmat (ujung kanan)

“Merdeka!!!”
Dilema bangsa, Penguasa, dan Pejabat Negara, serta aparat di saat republik ini merayakan dan mensyukuri kemerdekaan yang berusia 75 tahun, bersamaan dengan pandemic Covid-19. Terlepas dari berseliweran informasi, adanya uji coba vaksin penangkal virus Corona dan musibah Covid-19 atas ulah manusia, semua seperti mengalir liar tak terkendali. Bak air bah siap menerjang siapa saja.
Sesama tetangga yang awalnya hidup berdampingan rukun, damai dan guyub, gegara Covid-19 bisa saling curiga dan membuka tabir permusuhan.

Tidak terkecuali tempat ibadah, masjid (agama Islam), gereja (Kristen, Katolik, Protestan), pura (Hindu), Vihara (Budha), Kelenteng (Khonghucu), dan tempat laiinya, semua memilih tiarap.

Padahal fatwa dari Al Imam Hujjatul Islam, Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin mengatakan, “Kekuasaan (Negara) dan agama, merupakan dua saudara kembar. Agama adalah landasan, sedangkan kekuasaan adalah pemelihara. Sesuatu tanpa landasan (agama) akan roboh. Sedangkan sesuatu tanpa pemelihara (kekuasaan) akan lenyap.”

Bagaimana bisa menjadi penerus dan pengisi kemerdekaan, bila mensyukuri nikmat kemerdekaan harus tersumbat. Kalau pun harus memakai protocol kesehatan sesuai peraturan, terutama kerja keras Gugus Tugas (Gusgas) Penangganan Covid-19, haruskan perayaan syukuran kemerdekaan ditiadakan.

Sementara warung, café, angkringan, swalayan, market dan mall dibiarkan terbuka ‘bebas’. Bukan berarti saya anti, tempat ibadah yang sudah mengikuti protap kesehatan, masih dicurigai, sementara yang yang duduk di warung tanpa masker, tanpa cuci tangan dan jaga jarak dianggap hal lumrah. Katanya, resiko ditanggung sendiri.

Sekali lagi, memang butuh perjuangan di era kemerdekaan ke 75 tahun ini. Subyektif saya, mensyukuri nikmat Allah (nikmat kemerdekaan) pasti akan ditambah, termasuk rasa kemerdekaan kita sesuai dengan lagu Kebangsaan Indonesia Raya: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya…”.

Kembali pada wejangan Mbah Moen. Bisa jadi, di era pandemi Covid-19 ini, rakyat terbelah sesuai dengan prilakunya, berwatak penjajah, terjajah dan dijajah. Mental untuk bangkit dan merasa dirinya merdeka belum sepenuhnya mengalir darah merah dan putih tulang.

Efek dari jarang ke tempat ibadah, makan-makanan kaleng dan instan, maka tumbuh menjadi kanker dan ketergantungan. Seharusnya, bangsa ini bisa mandiri dan berdikari. Bila belum terwujud, semoga bukan karena salah mengurus negeri.

Ingat, nilai syukur itu juga bagian dari rasa merdeka. Dalam Al-Quran surat Ibrahim ayat 6-8, menukil sejarah bagaimana kemerdekaan yang diraih Nabi Musa bersama kaum Bani Israil dari cengkraman raja Durjana Fir’aun.

“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia (Allah) menyelamatkan kamu dari pengikut-pengikut Fir’uan; mereka menyiksa kamu dengan siksa yang pedih, dan menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu; padahal yang demikian itu suatu cobaan yang besar dari Tuhanmu.” (ayat 6).

Bukankah, bangsa Indonesia juga mengalami penderitaan panjang. Lebih 350 tahun dijajah Koloni Belanda, banyak pejuang dibunuh, terjadi perampokan kekayaan negeri. Terjadi penyiksaan dan kerja paksa zaman Jepang hingga akhirnya terbebas dan diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Maka, diayat 7, Allah mengingatkan: “Dan (ingkatlah) ketika Tuhamnu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka pasti azab-Ku sangat pedih.”

Dalam ayat berikutnya sudah jelas, sebetulnya nilai syukur itu bukan untuk sang Khaliq (Pencipta) tapi untuk diri kita sendiri. Karena Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.

Setidaknya, jika kita bisa memakmurkan rumah Allah (masjid) ada banyak pelajaran dan kebersamaan. Saat hamba masuk ke masjid, baik memakai sandal, sepatu, berjubah, pakaian necis, bersarung, pasti akan melepas tempat kaki. Dan, ketika bersujud: ada pengakuan bahwa Yang Maha Suci hanya Allah dan berada di tempat yang tinggi (Agung) dan patut dipuja. Ada komunikasi dengan Allah dan komunikasi dengan sesama, dilatih makmum menurut dan mengikuti imam, bacaan dan gerakan tartil dan diakhiri salam. Saling berdoa dalam keselamatan.

Semoga, di refleksi Tasyakuran Kemerdekaan ke -75 ini, kita bisa lebih mensyukuri untuk mendapat tambahan nikmat dan mata hati kita tahu, siapa yang sebenarnya berwatak, penjajah, terjajah dan dijajah. Allahu-Akbar, Allahu-Akbar, Allahu-Akbar, Merdeka!!!. Wallau a’lam bish-showab. (mt)