Oleh : H. Makin Rahmat, SH, MH, Ketua SMSI Jatim
IKHTIAR kegiatan malam tasyakuran beda dengan perayaan tahun-tahun sebelumnya. Kemeriahan, kekhusukan dan kebersamaan masyarakat yang biasanya menggelar malam tasyakuran mulai dari tiap gang, RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/ Kota, Provinsi hingga istana Negara, pada tanggal 16 Agustus terasa hampa.
Kabupaten Sidoarjo tempat saya tinggal pun tak lepas dari kontroversi. Setidaknya, ramai di solmed. Berdasarkan Perbup No. 58 tahun 2020 dilarang menggelar kegiatan yang mendatangkan kerumunan. Kapolresta Sidoarjo Kombes Pol.
Sumardji, SH, MH juga meminta meniadakan acara tasyakuran Kemerdekaan RI ke 75.
Uniknya, Wakil Bupati juga Plt Bupati Sidoarjo, H. Ahmad Nur Syaifuddin, SH mempersilakan kegiatan tasyakuran dengan tetap mengikuti protap masa pandemi Covid-19. Memang di Perbup 58 tersebut, tidak menyebutkan adanya larangan. Jadi, semua harus mensikapi dengan bijak.
Yang jelas, fakta di lapangan ada beberapa warga yang tetap melaksanakan kegiatan sakral tasyakuran sebagai nilai syukur dan tak tergantikan. Termasuk di masjid Siti Suci Nur Rohmah, Kelurahan Magersari, Sidoarjo Kota kebetulan saya sebagai takmir.
Bahkan, di lingkungan warga sendiri muncul komentar pro-kontra. Tidak perlu ada acara tasyakuran, karena Sidoarjo kembali menjadi zona merah. Ada yang mengutip kebijakan Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Kota Surabaya menjadi kawasan yang tidak diperbolehkan ada kegiatan kerumunan massa termasuk tasyakuran.
Namanya saur-manuk. Ngomong sekenanya, bisa berbau karena suka-tidak suka, like and dislike. Saya berusaha bersikap wajar, walaupun di group WA dan japri saya muncul berbagai komentar pedas dan beraroma cibiran. Ya dinikmati saja.
Dari fakta kontroversi tersebut, saya malah teringat dengan pesan Mbah Maimoen Zubair (Syaichona Romo KH. Maimoen Zubair) yang wafat di Mekah pada 6 Agustus 2019 (5 Dzulhijjah 1440 H) dan dimakamkan di Jannatul Ma’la.
Empat hari sebelum Mbah Moen wafa di usia 94 tahun, saya ditakdirkan bisa sowan ke beliau. Setidaknya, takdir telah menuntun saya untuk berziarah di Hotel Sofwah Dar Al Eiman, Mekah, tempat menginap.
Dalam posisi di tempat tidur hotel, dengan wajah sejuk menentramkan memberikan pitutur dan petuah agar kita tahu sejarah serta bisa memahami sebab musabab suatu peristiwa, termasuk bab cinta tanah air (hubbul wathon minal iman).
Indonesia itu di mata Mbah Moen, bagian dari kehendak Ilahi guna mewujudkan masyarakat yang naisonalis relegius.
Mbah Moen dengan nada bicara bertutur dan senyum khasnya, tetap menyatakan kecintaannya terhadap republik Indonesia dan menjadikan wadah Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ikhtiar untuk berjuang demi kemaslahatan umat. Konsep Rahmatal lil ‘alamiin, Islam Nusantara setidaknya menjadi bagian tak terpisahkan dalam berjuang.
Saat itu, Mbah Moen mengingatkan kita agar lebih hati-hati, cerdas, jeli dan butuh perjuangan untuk mensikapi kondisi bangsa, jangan gampang menyalahkan, menuduh dan terlalu apriori terhadap keadaan bangsa.
Ulama Khos, pejuang dan pelaku kemerdekaan yang low profil ini, mengharap bangsa ke depan bisa menelaah lebih mendalam makda kemerdekaan, dalam kondisi bangsa merdeka menuju gerbang kemerdekaan yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur itu merupakan rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
Bagaimana bisa mendorong kehidupan berbangsa yang luhur, bebas, bila masih ditemui jiwa penjajah, terjajah dan dijajah oleh masyarakat Indonesia.
Ketika, saya mencoba menanyakan, maksud dan makna dari pitutur beliau? Mbah Moen hanya tersenyum. Katanya, sejarah yang akan membuktikan. Sebab, republik ini (Indonesia) bukan hadiah dari Belanda, atau hibah Negara matahari Jepang, apalagi tentara NICA, semua atas perjuangan seluruh rakyat Indonesia.
Dan, peran ulama (mayoritas umat Islam) sangat besar. Tapi tetap bersatu dalam keberagaman, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Jujur, saya yang tadi malam didapuk memberikan orasi kemerdekaan, langsung meneteskan air mata. Begitu besar, pengorbanan pada pendahulu kita, para pejuang bangsa, para syuhada, ulama, tokoh nasionalis, dan rakyat yang bahu-membahu menyingkirkan penjajah dan antek-anteknya.