Dalam puisinya berjudul “Kemerdekaan Corona dan Korupsi” penulis menyampaikan keprihatinannya lewat peran penari yang memainkan topeng-topeng, ingin menaburkan beras bagi mereka yang berasa di rongga kemiskinan karena darah sucinya dihisap para koruptor. Maka pesan penting penyair memberikan isyarat “Indonesia Bebas Korupsi”
……,
Surabaya menebar berita duka
merampas semua waktu orang-orang
yang sedang menggigil dipinggir jalan
54 orang terpapar corona,
pers gempar meniupkan terompet kedukaan,
dunia berguncang,
berita duka bergulir cepat sampai kerusuk-rusuk kampung, kampung-kampung orang terpapar
mereka menjerit
tetangga menghukum terluka
ada yang meludahi, sampai liurnya berwarna coklat sindiran dan umpatan kata-kata silih berganti
para terpapar sembunyi
jiwanya masuk ke persembunyian semut-semut, berlindung tanpa pegangan
hati mereka ciut, gagap tak bersuara
saat-saat mereka sedang menunggu pengadilan terburuk, sukmanya ditopang ke langit
….
arena kita lahir di atas rahim Indonesia
tumbuh besar dan tegak di atas langit Indonesia mengait bintang gemintang di balik awan Indonesia berlayar dengan hembusan angin sepoi-sepoi Indonesia ombaknya pun seperti nyanyian Indonesia
maka, robek-robeklah dadaku
robek-robeklah jiwaku
asal jangan robek merah putihku
Semoga lebih bermanfaat bagi Indonesia lebih bertoleran, Indonesia sejahtera, Indonesia yang cerdas dan Indonesia bersih dari korupsi.
Puisi dan sajak memang sekedar menulis kata korupsi, bukan melakukan aksi mencegah korupsi. Kadang seperti pidato berapi-api, kadang menyerukan dengan suara lantang berhentilah korupsi, kadang membungkus dengan keindahan huruf dengan kata kalimat berbudi pekerti luhur.
Firli memotret Rohanuddin dalam dekapan cinta tanah air, sama-sama menyatakan “sumpah”, bukan sekedar memberantas korupsi. “Sumpah Menjaga Siapa Saja …, Jangan Mendekati Korupsi”.
(Djoko Tetuko)