Zawawi Imron Melukis Padat “Wajah dan Hati Rohan (bag 2)

Zawawi Imron Melukis Padat “Wajah dan Hati Rohan (bag 2)
Rohan (kanan) dan Awawi Imron

Hal ini menggambarkan bahwa puisi dan acara baca puisi itu termasuk acara penting untuk menanamkan pentingnya hidup rukun, kreatif, cinta bangsa dan tanah air. Puisi untuk hidup dengan moral indah dan berpikir positif. Puisinya yang berjudul “Bicaralah yang Baik-baik,” dalam pengamatan saya ditulis menjelang pemilu dan pilpres 2019,

….
ketika kata-kata kasar, cemooh dan caci maki sering muncul sehari-hari untuk menyakiti dan mempermalukan lawan politik.

Rohan sang penyair penyiar, kata Zawawi, menyarankan pentingnya pergaulan yang santun antarkontestan, karena berbeda pilihan tidak berarti permusuhan. Kita simak baik-baik di bawah ini: jangan jadikan kampanye politik
pasar raya yang hanya
menawarkan cita-cita berbuih-buih kampanye bukanlah pameran harapan melainkan cita-cita yang mulia mengentas kemiskinan,
menghormati keadilan
menjunjung tinggi kesantunan, merawat keberagaman dan demokrasi, mencetuskan cita-cita
yang bisa dikerjakan
dan dinikmati rakyat banyak.

Memperhatikan gaya bahasanya, Zawawi menilai, penyair ini seperti sealiran dengan WS Rendra pada paruh terakhir, ada nada pamflet. Dan itu sah sebagai pilihan dalam kehidupan sastra. Direktur Utama RRI ini memang pengagum Rendra. Bahkan pada tahun 1986 saya pernah menyaksikan ia membacakan puisi “Khotbah”-nya Rendra dengan gaya dan suara memukau, beda-beda tipis dengan Rendra.

Dalam puisi “Bicaralah yang Baik-baik” ini ia tak hanya mengkritik, tapi mengajak agar ketegangan ini disudahi dengan bertobat. Tulisnya: betapa burung garuda
yang biasa melayang-layang tinggi dan terkadang berbaring
di langit bertubi-tubi
terbang rendah dari mulutnya
memuntahkan amarah besar mengosok-gosokkan cakarnya
di atas surau-surau, dipunggung-punggung masjid,
dinding-dinding gereja, pura-pura, wihara-wihara minta semua bertobat, serempak dan seirama
berkata: bicaralah yang baik-baik, kita berjalan dipematang yang licin Cinta tanah air adalah sesuatu yang mulia bagi yang punya kesadaran mendalam, tanah air bukan hanya tumpah darah, lebih dari itu kita minum airnya dan makan beras padinya, yang kemudian berkelindan dengan faham keagamaan, “Hubbul Wathan minal iman,” cinta tanah air adalah bagian dari iman.

Kesadaran yang bergetar sampai ke tulang sumsum itu menjadi sesuatu keniscayaan.
Penyair punya kesadaran ini berangkat dari pengalaman- pengalaman konkrit yang kemudian bisa memperkaya imaji saya sebagai pembaca:

Indonesia adalah saraswati tempat ibu menanak ilmu, membentang dari sabang sampai merauke
Indonesia adalah saraswati, tempat padi tumbuh subur dan berbulir penuh
tempat sungai mengalir deras berair sebening kaca
tempat anak-anak bertanam dan menjaring akar-akar budaya lantas melaksanakannya
dalam tempayan-tempayan kebermaknaan di tepian pesisir
anak bersorak-sorai

Zawawi memang tidak memotret dan membingkai karena akan terasa kurang menawan, sang penyair Batang-Batang Sumenep ini seperti menggoreskan “Celurit Emas” melukis padat “Wajah dan Hati Rohan” begitu keibuan, mengayun-ayun dengan selendang batik lurik khas Madura, ada warna merah, ada gambar burung, ….( Djoko Tetuko)