Jumat, 29 Maret 2024
32 C
Surabaya
More
    OpiniKetika Jutaaan Umat Islam Calon Haji Sedih

    Ketika Jutaaan Umat Islam Calon Haji Sedih

    Oleh : DjokobTetuko (Pemimpin Redaksi Transparansi)

    Umat Islam seluruh dunia, dan sebagian besar dari Indonesia pada tahun haji 1441 Hijriyah, menjadi tahun kesedihan bagi para calon jemaah haji. Karena gagal berangkat akibat Covid-19 dan pemerintahan kerajaan Saudi Arabia, telah memutuskan pelaksanaan ibadah haji hanya bagi umat Islam yang bermukim di sekitar Makkah dan Madinah.

    Pelaksanaan ibadah haji itupun dengan mematuhi protokol kesehatan, sesuai standar internasional selama masa pandemi virus Corona. Juga beberapa persyaratan guna menjaga kesehatan serta keselamatan para “tamu Allah”. Tentu saja suasana ibadah haji sangat berbeda dibanding setengah abad selama ini, Makkah, Madinah, dan Arafah dibanjiri umat Islam.

    Kesedihan begitu menyayat, dilontarkan beberapa calon jamaah haji Indonesia, yamh baru berangkat kali pertama melaksanakan rukun Islam kelima, juga belum pernah umroh, mengaku begitu sedih. “Ini tahun haji kesedihan bagi saya dan para calon jamaah haji yang sudah siap lahir dan bathin, gagal berangkat karena wabah Corona,” kata calon jamaah haji asal Sidoarjo. Karena tertunda melontar batu kerikil sebagai bagian dari rukun melempar jumroh.

    Pelaksanaan ibadah haji sebagaimana firman Allah pada surat Al Imran 97; “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.

    Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) Dan pada Baitullah ini terdapat bukti-bukti nyata bahwa ia dibangun oleh tangan Ibrahim dan sesungguhnya Allah telah mengagungkan dan memuliakannya. Di antaranya adalah maqam Ibrahim, yaitu batu yang Ibrahim berdiri di atasnya ketika dia dan putranya, Ismail, meninggikan fondasi-fondasi Baitullah. Siapa saja yang memasuki Baitullah ini, maka dia akan merasa aman terhadap jiwanya, tidak ada seorangpun yang berbuat buruk kepadanya. Dan sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas orang yang mampu dari kalangan manusia di mana pun berada untuk mendatangi Baitullah ini untuk melaksanakan manasik haji. Dan barangsiapa mengingkari kewajiban haji, maka sungguh dia telah kafir. Dan Allah Maha kaya tidak membutuhkannya, haji dan amal perbuatannya dan juga dari seluruh makhlukNya.

    Baca juga :  Wahai Jiwa yang Tenang!

    Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ibadah umrah ke ibadah umrah berikutnya adalah penggugur (dosa) di antara keduanya, dan haji yang mabrur tiada balasan (bagi pelakunya) melainkan surga” (HR al-Bukhari dan Muslim).

    Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan keutamaan memperbanyak ibadah umrah. Hal ini disebabkan umrah memiliki keutamaan yang agung, yaitu dapat menggugurkan dan menghapuskan dosa-dosa. Hanya saja, mayoritas ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dosa-dosa di sini adalah dosa-dosa kecil, dan tidak termasuk dosa-dosa besar.

    Kemudian, kebanyakan para ulama pun menyatakan bolehnya (seseorang) mempersering dan mengulang-ulang ibadah umrah ini dalam setahun sebanyak dua kali ataupun lebih. Dan hadits ini jelas menunjukkan hal tersebut, sebagaimana diterangkan pula oleh Ibnu Taimiyah. Karena memang hadits ini jelas dalam hal pembedaan antara ibadah haji dan umrah. Juga, karena jika umrah hanya boleh dilakukan sekali saja dalam setahun, niscaya (hukumnya) sama seperti ibadah haji, dan jika demikian seharusnya (dalam hadits) disebutkan, “Ibadah haji ke ibadah haji berikutnya…”. Namun, tatkala Nabi hanya mengatakan “Ibadah umrah ke ibadah umrah berikutnya…”, maka hal ini menunjukkan bahwa umrah boleh dilakukan (dalam setahun) secara berulang-ulang (beberapa kali), dan umrah tidaklah sama dengan haji.

    Sebagaimana diketahui pemerintah lewat Kementerian Agama telah mengumumkan bahwa awal bulan Dzulhijjah 1441 H jatuh pada Rabu (22 Juli 2020). Pemerintah menetapkan Hari Raya Idul Adha 1441 H jatuh pada hari Jum’at, 31 Juli 2020.

    Ketetapan ini disampaikan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi usai memimpin Sidang Isbat (Penetapan) 1 Dzulhijjah 1441 H yang digelar Kementerian Agama, di Jakarta, Selasa 21 Juli 2020.

    Menurut Menag, keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan hasil hisab posisi hilal dan laporan rukyatul hilal. Lebih dua belas pemantau mengatakan melihat hilal dan telah disumpah. Rukyatul Hilal ini mengonfirmasi hasil hisab bahwa hilal di seluruh Indonesia berada di atas ufuk, antara 6 derajat 51 menit sampai dengan 8 derajat 42 menit

    Baca juga :  Wahai Jiwa yang Tenang!

    Dengan demikian, 10 Dzulhijjah, jatuh pada tanggal 31 Juli 2020.
    Sejumlah kalender PWNU Jatim juga menunjukkan pada tanggal 31 Juli 2020. Penetapan ini berarti puasa Arafah 9 Dzulhijjah 1441 H jatuh pada tanggal 30 Juli 2020.

    Keistimewaan pada bulan Dzulhijjah ialah terdapat ibadah penyempurna dari rukun Islam yaitu ibadah haji ke baitullah. Dan kini semua dalam keprihatinan. Oleh karena itu, bagi umat Islam terutama yang tertunda melaksanakan ibadah haji, melakukan ibadah lain seperti menyembelih hewan kurban, sedekah (Sodaqoh) dan infak sebanyak-banyaknya, shalat dan berpuasa. Sebagaimana Hadits
    riwayat Ibnu Abbas dalam sunan at Tarmizi, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tak ada hari lain yang disukai Allah untuk beribadah seperti 10 hari ini. (Dzulhijjah) (HR At Thirmizi)

    Para ulama menggunakan hadits ini sebagai dalil anjuran puasa 10 hari di awal bulan Dzulhijah. Dan intinya, awal Dzulhijjah adalah waktu utama untuk beramal sholeh. Di antaranya dengan banyak dzikir, bertakbir, dan termasuk pula berpuasa.

    Di antara yang menunjukkan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah hadits Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
    “Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).”Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya, namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)

    Baca juga :  Wahai Jiwa yang Tenang!

    Adapun dalil yang menunjukkan istimewanya puasa di awal Dzulhijjah karena dilakukan pula oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana diceritakan dari Hunaidah bin Kholid, dari isterinya, beberapa isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan;
    “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, …” (HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

    Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 459)

    Inti dari penjelasan ini, boleh berpuasa penuh selama sembilan hari bulan Dzulhijah (dari tanggal 1 sampai 9 Dzulhijah) atau berpuasa pada sebagian harinya saja. Bisa diniatkan dengan puasa Daud atau bebas pada hari yang mana saja, namun jangan sampai ditinggalkan puasa Arafah. Karena puasa Arafah akan menghapuskan dosa selama dua tahun.

    Hal ini berdasarkan hadits Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
    “Puasa Arafah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162).

    Bagi umat Islam Indonesia, pantas menjadi tahun kesedihan mengingat kehilangan syiar ketika jutaan calon jamaah haji memenuhi panggilan ibadah ke tanah suci, kebiasaan melakukan upacara pemberangkatan, dan berbagai kegiatan lain, tiba-tiba saja hilang tanpa mampu memandang selayang pandang.

    Dan tahun kesedihan ini, juga pantas diratapi sejenak saja, tetapi harus kembali bangkit dengan dzikir, puasa, sedekah dan infak juga amal sholeh lain pada 10 hari Dzulhijjah hingga Hari Raya Idul Adha. InsyaAllah akan menjadi “tahun kenikmatan”, jika virus Corona tidak terlalu lama akan sirna. Atau ada obat penangkal dari belahan dunia mana saja. Karena umat Islam berlomba-lomba ibadah di 10 hari awal Dzulhijjah. (JT/berbagai sumber)

    Penulis : Djoko Tetuko

    Sumber : WartaTransparansi.com

    Berita Terkait

    Jangan Lewatkan