Opini  

Pesantren Alternatif Kenormalan Masa Transisi

Pesantren Alternatif Kenormalan Masa Transisi
H. Djoko Tetuko Abdul Latief

Oleh : Djoko Tetuko (Pemimpin Redaksi Transparansi)

Ketika Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengunjungi Pondok Pesantren Lirboyo dan Al Falah Kediri, bersama Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) Provinsi Jatim menyatakan bahwa Lirboyo adalah contoh “Pesantren Tangguh”, dan pernyataan itu perlu mendapat penegasan bahwa garis perjuangan atau khittah pesantren memang menjadi “pesantren mandiri dan tangguh”. Dan model ini perlu dicontoh ketika masa transisi masih mencari model. Apalagi masih berbarengan dengan tetap usaha maksimal melawan Corona secara bersama-sama terus dilakukan.

Setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak diperpanjang atau distop. Maka komunitas bernama pesantren merupakan salah satu alternatif sebagai contoh kenormalan baru kehidupan di perkampungan, desa, kelurahan, komunitas atau wilayah. Paling tidak, mencontoh ketertiban, kepatuhan, mandiri,tangguh dengan tidak pernah berhenti mengetuk pintu langit dari bebagai penjuru, serta mengedepankan budi pekerti luhur atau akhlaqul karimah.

Bahwa kenyataan di masa pandemi Corona atau melawan bersama-sama Covid-19 sebagai gerakan internasional atau kebersamaan dunia, pesantren-pesantren menjadi “Pesantren Tangguh” dalam melawan Corona, itu keniscayaan sebab dari sejak lahir, jaman dulu maupun jaman sekarang, khittah pesantren adalah “mandiri, tangguh, berakhlaq”. Tidak hanya itu, ketertiban hidup dalam lingkungan pesantren patut dicontoh. Dengan kata lain masa transisi memang memberi semangat dengan kenormalan baru, seperti menggunakan masker dalam aktifitas apa saja. Dan jika itu sudah menjadi kewajiban maka gerakan maskerisasi di pesantren pasti memberi warna beda dan menyenangkan.

Mengapa demikian? Pondok Pesantren pada dasarnya, sejak awal berdiri sudah siap mandiri sehingga juga sudah tangguh, dan sejak orangtua santri mengirimkan anaknya menambah ilmu sudah menyatakan diri dengan kesanggupan sangat tinggi menjadi santri mandiri. Juga sudah melakukan baiat bahwa selama di pesantren mengikuti semua protokol dengan tunduk dan patuh tanpa melawan atau membantah barang satu kata. Semua sudah siap mencari ilmu dengan sungguh-sungguh, mempersiapkan modal juga sungguh-sungguh, baik lahir maupun batin. Materiil maupun moril.

Sekedar informasi saja bahwa kehidupan di Pondok Pesantren pada umumnya makan dan minum mandiri (minimal hidup dengan membayar sendiri) bahwa ada yang memasak sendiri atau membeli sesuai ketentuan dan kebersihan juga kesehatan, menyesuaikan peraturan pesantren masing-masing. Mencuci baju, membayar uang kegiatan belajar mengajar, menjaga kebersihan dan kesehatan, mematuhi jam belajar khusus kitab-kitab kuning, dan ketentuan belajar sesuai dengan kurikulum pendidikan nasional untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kementerian Agama, semua diikuti dengan suka rela dan semangat membara.

Sekedar informasi saja bahwa kehidupan di pesantren sudah mandiri, baik santri, kiai, ustad maupun ustadah juga petugas lain, karena memang dibaiat (mengucapkan janji) sejak sebelum menyatakan diri dalam kehidupan di pesantren. Jadi Pondok Pesantren adalah kampung baru atau komunitas baru dengan konsep mandiri dan tangguh. Bahwa di masa pandemi Corona diharapkan menjadi “Tangguh Plus” itu tinggal menyampaikan sudah menjadi gerakan nasional maskerisasi. Sebab sekali lagi garis perjuangan (khittah) pesantren ialah hidup mandiri dan tangguh menghadapi apa saja, termasuk sekedar melawan Corona. Dengan tetap melakukan ikhtiyar paling tinggi, yaitu berdo’a kapan saja dalam kesempatan apa saja. Tetapi tidak pernah promosi. Bahkan mengedepankan budi pekerti luhur atau akhlaqul karimah menjadi tujuan utama dalam proses transformasi ilmu umum dan ilmu khusus Dan tidak kalah penting, mendekatkan diri kepada Allah SWT di atas segala-galanya.

Sekedar informasi saja, pondok pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama seperti mode pesantren di nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudian dikenal dengan nama pondok pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut dengan nama dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatra), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.