Bertransaksi Dengan Alloh Di Masa Pandemi

Bertransaksi Dengan Alloh Di Masa Pandemi
Zahrul Azhar As'ad

Oleh : HM. Zahrul Azhar As , Sip, MKes (Wakil Rektor III Unipdu) Jombang.

Dimasa pandemi ini kita dihadapkan dengan NOT ORDINARY PROBLEM, permasalahan yang memaksa kita untuk melakukan segala sesuatu diluar kebiasaan dan norma norma mainstream dan “jumhur” seperti masa sebelum pandemi.

Para ulama berijtihad dengan dasar hadis dan qoidah qoidah fikih dari ulama ulama terdahulu untuk menemukan dan mencari cara agar ibadah tetap bisa dilakukan tanpa meninggalkan esensi dri ruh ibadah itu sendiri.

Pandemi ini seakan memaksa kita untuk belajar memeras dan memilah mana inti dan mana aksesori, mana wajib mana sunnah , mana syariat , kaifiat , ritual, adab, kepantasan dan kebiasaan serta budaya.

Diantara kita tidak sedikit yang belum bisa membedakan mana syarat dan mana adab bahkan masih ada yang mencampur adukkan antara budaya dan agama walau agama dan budaya sering seiring dan berdampingan.

Esensi ibadah mahdhoh adalah bentuk pengabdian dan “transaksi” kita sebagai mahluk kepada sang Khalik. Ketika kita berurusan dengan Alloh yang maha kasih tak serumit dan tak snjlimet ketika kita berurusan dengan sesama mahlukNya . Alloh SWT yang sangat Rahman dan Rohim banyak memberikan opsi opsi meringankan kepada mahlukNya , misalnya jika sholat tidak bisa berdiri ya duduk , jika tidak bisa duduk ya tidur dengan gerakan gerakan tangan , jika tidak bisa berbuat apa apa cukup dengan gerakan mata. Esensinya tetap sama ; sholat.

Yang membuat rumit adalah ketika ritual ini sudah masuk dalam aturan aturan manusia terlebih mereka yang tidak memahami esensi tapi lebih mementingkan aksesori , mengharuskan ini mengharuskan itu yang memang akan menjadi penyempurna jika dilakukan dalam situasi yang normal .

Sebentar lagi kita akan merayakan hari yang kita nanti nanti ; Idul fitri, tentu setiap diantara kita sudah memiliki kebiasaan dan budaya dalam memeriahkan sebagai wujud kebahagiaan kita karena dijumpakan lagi di hari yang fitri. Moment ini biasanya dimanfaatkan untk saling silaturahmi dan beranjangsana kepada sanak saudara dan juga dengan para mantan dengan berbalut reunian.

Berbagai keceriaan tertumpah dihari bahagia ini diawali dengan sholat sunnah muakadah Idul fitri berjamaah baik di masjid maupun di lapangan dilanjutkan ritual saling bersalam salaman. Namun sayang keceriaan ini kini seakan dicabut sementara oleh Alloh untuk mengingatkan betapa mahalnya harga keceriaan yang telah kita rasakan selama ini namun kita kufuri.

Sholat Idul fitri adalah sunnah muakadah yang dalam prakteknya bisa dilakukan dimana saja bahkan jika terpaksa sekali boleh tidak dilaksanakan. Kemudahan bertransaksi dengan Alloh hendaknya tidak dipersulit dengan hal hal yang sifatnya simbolik.

Kita bisa sholat ied dirumah bersama anak istri kita , dengan modal bacaan selama menjadi imam traweh 30 hari rasanya cukup untuk menjadi imam sholat id bersama orang orang yang kita cintai , tinggal ditambah belajar khutbah singkat yang bisa cari materinya di internet, ya walau lebih mudah mencermahi seribu orang dibanding menceramahi 1 orang yaitu ; istri sendri e , hehee.

pemerintah pasti telah memikirkan segala dampaknya untuk kemaslahatan rakyatnya, pemerintah juga pasti sudah mendengar kan masukan masukan dari para ulama tentang esensi ibadah sehingga pemerintah lebih mudah membatasi Aktifitas tempat ibadah dari pada pasar pasar yang tidak mungkin Aktifitas nya dialihkan kerumah masing masing.

Saya jadi teringat dengan kisah Kholfah Umar , Suatu hari, Khalifah Umar sedang melihat keadaan rakyat. Di perjalanan keliling kota, Khalifah Umar melewati sebuah masjid yang di dalamnya ada sekelompok anak muda.

Mereka begitu asyik beribadah, bahkan ada salah satu dari mereka sangat khusyuk. Khalifah Umar kemudian masuk ke dalam masjid itu.

“Siapakah kalian?” tanya Khalifah Umar.