banner 728x90
Opini  

Semua Kota “Dimatikan” Hari Raya Mati Sendiri

Semua Kota “Dimatikan” Hari Raya Mati Sendiri
Djoko Tetuko Abdul Latief

Gresik dengan sebutan “kota wali” dan sejarah Islam dari dahulu hingga terkini, kini tidak ada lagi “lagu suci”, juga do’a jutaan para peziarah dari seluruh pelosok negeri di makam para wali, karena “dimatikan” mengikuti titah PSBB. Dan, “Kota pundak” ini kehilangan sinar abadi do’a suci dari umat Islam seluruh negeri, juga pancaran sinar abadi nan indah berseri ketika teriring dalam khazanah do’a jutaan santri di bulan suci.

Semua kota setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), seperti koor lagu paduan suara, serempak menyatakan “mati suri” dalam balutan kesedihan terinfeksi Covid-19. Semua memperlakukan “jam malam” walau kadang diterjang, semua “mematikan” tempat keramaian walau kadang dilanggar, semua “mematikan” dunia perdagangan walau satu dua masih berdagang dengan dada tidak lapang.

Hari ini, dan hari-hari sampai virus Corona masih melayang layang jalan, kadang bergoyang-goyang, kadang jalang berdendang, bersama jutaan manusia pembangkang dan selalu saja ingin menang, juga merasa paling benar, Covid-19 dengan populer disebut Corona terus menemani senang. Kampanye di mana-mana? Corona merasa senang dan enggan mau pulang walau tiket sudah dipegang.

Seluruh kota sudah memproklamirkan menjadi “kota mati” walaupun itu ikhtiyar menghadapi penyebaran, penularan, dan penguatan pandemi virus Corona, dan memang hanya bisa pasrah dan membuat “peraturan suci” seperti itu, yang tanpa malu-malu mengalahkan “kita suci” juga “ajaran suci”.

Dan, tanda-tanda semua “dimatikan” dalam barisan Corona sudah nampak, barokah rejeki di bulan suci Ramadhan seperti dicabut, barokah menikmati suasana ibadah massal di bulan penuh ampunan juga serasa dicabut, dan barokah Idul fitri tidak salaman karena takut Covid-19 sudah di depan mata, hari ada terbesar itu, mati sendiri karena semua seperti tiba-tiba membenci.

Semua sudah “dimatikan”, semua wajib diam di rumah, semua wajib mengikuti peraturan dan pidato para pemimpin daerah dengan slogan bermacam-macam, tetapi satu tujuan “bersama melawan Corona”. Semua “mati suri” dalam istirahat panjang. Dan Hari Raya Idul Fitri bakal mati sendiri.

Seluruh dunia sudah memproklamirkan menjadi “kota mati”, walau terus berjuang seperti tentara perang menghadapi lawan yang kian sulit ditandingi. Menghadapi penguatan pandemi virus Corona, dengan hanya pasrah dan membuat “peraturan suci” mengalahkan semua yang dianggap “suci” atau disucikan. Dan tanda-tanda semua mencabut barokah nan suci, tinggal menunggu waktu, karena semua sudah “beragama duniawi” dan “takut mati dimana Hari Raya Idul Fitri bakal mati sendiri.

Keajaiban menyingkirkan pengakuan “kota mati suri”, keajaiban menghapuskan penguatan semua aktifitas yang “dimatikan”, keajaiban memproklamirkan “kembali suci dan isnyaAllah mampu merayakan Idul Fitri”, kata Pak Tani, jika do’a mukminin seluruh dunia di bulan suci Ramadhan ini dikabulkan oleh Ilahi ROBBI, karena hakikinya Corona keajaiban dan keajaiban hanya miliki Allah SWT sendiri. “Tidak ada keajaiban, keculai dari Allah SWT”. (Djoko Tetuko)