banner 728x90
Opini  

Semua Kota “Dimatikan” Hari Raya Mati Sendiri

Semua Kota “Dimatikan” Hari Raya Mati Sendiri
Djoko Tetuko Abdul Latief

Jakarta istirahat sejenak seperti mati suri. Surabaya istirahat sejenak seperti tidur sehari .
Depok istirahat sejenak seperti hari kematian. Bogor istirahat sejenak seperti tidak punya Istana Suci. Bekasi istirahat sejenak seperti listrik PLN mati. Sidoarjo istirahat sejenak seperti mau kiamat hari ini. Gresik istirahat sejenak seperti mau manutup langit san bumi.
Semua kota istirahat sejenak, semua kota mengaku “mati suri”, semua kota memproklamirkan. “dimatikan”, setelah fatwa suci bernama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Bahkan tanpa malu-malu para pemimpin daerah di negeri ini, memproklamirkan menjadi “kota mati” walaupun sedang ikhtiyar menghadapi penyebaran, penularan, dan penguatan pandemi virus Corona. Semua “dimatikan”. Semua wajib diam di rumah, semua pergulatan apa saja di jalan diminta berhenti, dan perdagangan akhirnya “mati sendiri”.

Jakarta sunyi sepi jalan-jalan seperti suasana pedesaan. Bahkan sore hari ketika
tiba-tiba ada kemacetan warga pengguna jalan justru disalahkan sesama pengguna jalan. “Sudah disuruh diam di rumah masih keluyuran”.

Surabaya “mencekam” seperti habis kena goyang “bom gereja” menjelang Natal 2 tahun lalu. Petugas keamanan gabungan memeriksa setiap kendaraan roda 2 atau roda 4 atau mau roda berapa saja masuk kota Surabaya. Sesama warga saling komentar, “Rasakan dampak melawan Corona”.

Sidoarjo berlaku “jam malam”, persis suasana perang, persis kayak ada dentuman bom di mana-mana. Bahkan lebih dahsyat dari itu, setiap pintu masuk perkampungan 24 jam dijaga, setiap penghuni kampung itu keluar masuk disemprot pakai “air kesehatan”, “air anti Corona”.

Depok “tiarap” bersyarat, masih ada lalu lalang pengemudi dengan standar PSBB, masih ada belanja ke pasar walau hanya beli sayuran, masih ada aktifitas dadakan ke kantor pemerintahan walau sekedar kangen-kangenan, masih ada ibu-ibu menenteng tas belanjaan walau hanya sekedar menyapa penjual saja. Suasana benar-benar “kota mati” apalagi jika siang hingga malam hari, gerimis dan hujan rintik-rintik menghiasi seperti langit menangis meratapi.

Bogor “kota hujan” benar-benar hujan infeksi virus Corona, semua penduduk di negeri ini ketika baru pulang kampung, wafat atau baru terjangkit atau sudah terinfeksi Corona, gara-gara mengaku datang ke Bogor.

Bogor hanya diam menunggu kepastian seperti “kota pengasingan”. Bukan kota wisata sejarah lagi, apalagi kota tempat istana Presiden. Istana masyhur seperti surga itu sudah terbeli. Semua terkikis habis Covid-19, semua tergadai badai virus, dan hanya menunggu nasib.

Bekasi seperti judul puisi Khairil Anwar “Kerawang Bekasi”, ikut mati, hanya mampu menunggu Jakarta kembali pulih. Terbawa irama Jakarta dan Bogor, sunyi sepi ibarat “kota mati” dan “dimatikan”, walau masih ada gerakan buruh atau pekerja atau usaha lain ingin menghidupkan suasana. Tetapi tetap mematikan suri.