Pandemi virus Corona, sudah menutup ratusan bahkan ribuan masjid berhenti melaksanakan perintah sholat berjamaah 5 waktu (Isyak, Subuh, Dluhur, Ashar, dan Maghrib) juga sholat Jum’at, akibat pemberitaan begitu bombastis bahwa virus Corona mudah menyebar dan menular ke manusia dari pergerakan manusia, karena pertemuan dalam jumlah besar atau lebih dari 3 orang, dengan kondisi tidak menjaga jarak.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk melakukan pencegahan penyebaran virus Corona, dengan melakukan berbagai program dan pekerjaan dilakukan di rumah. Bahkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan penanggulangan virus Corona, memberi batasan waktu sampai 29 Mei 2020, siatuasi dan kondisi Indonesia masih membahayakan.
Sosial Destancing dan Physical Destancing diberlakukan, sehingga kerukunan di warung, pertokoan, tempat ngopi, perkantoran juga mall dan pasar, dikurangi dan diminta melakukan sistem penjualan dengan cara online. Dunia perdagangan merosot tajam sampai titik nadir paling rendah. Pekerja harian dan pedagang kecil harian juga kelimpungan. Mereka layu bak daun tanpa asupan oksigen dan angin semilir. Mereka kering kerontang ibarat tanaman tidak pernah disiram.
Umat Islam terutama dikalangan NU (Nahdlatul Ulama), meyakini bahwa sunatullah dari Nabi Muhammad SAW, setiap ada wabah jenis virus apa saja, diyakini ketika manusia masuk masjid akan selamat. Dan virus mengikat atau menjauh. Dan di dalam masjid, seperti biasa sholat berjamaah dengan membaca do’a qunut nazilah. Tentu saja permohonan keselamatan muslimin seluruh dunia, dan dihindarkan dari wabah, musibah, juga gempa dan lainnya.
Keyakinan begitu kuat itulah masih banyak masjid-masjid zona hijau, tetap ikhtiyar menjalankan sholat berjamaah sesuai dengan protokol kesehatan. Dimana waktu masuk wilayah masjid dengan mencuci tangan, disemprot cairan kesehatan, juga diperiksa suhu badan. Tetapi tetap melaksanakan sholat dan kegiatan di masjid seperti biasa. Bahkan ditambah do’a menolak wabah dan meminta dihindarkan.
Keyakinan keimanan dan menjaga syiar Islam itulah, PBNU memohon kepastian dengan “menggugat” agar pemerintah melalui Gugus Tugas melakukan pemetaan zona sampai ke tingkat kampung, “gugatan” itu sebagai upaya mengikuti pemimpin dengan baik dan benar, mengikuti program dan kebijakan pemerintah dengan patuh dan bijaksana.
Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar meminta pemerintah untuk lebih detail memetakan zona persebaran virus Corona atau Covid-19. Dengan pemataan secara profesional sampai tingkat kelurahan/desa/kampung.
Bahkan jika perlu, pemetaan zona tersebut dibuat sekecil mungkin hingga tingkat wilayah kelurahan. “Bila perlu diperkecil sampai ke tingkat desa tingkat kampung. Mana yang zona hijau, zona kuning, dan zona merah. Ini yang bisa hanya pemerintah, biar rakyat tidak semakin bingung,” ucap Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar, Rabu (8/4/2020).
Pendetailan pemetaan zona ini, sangat berguna untuk acuan pelaksanaan Surat Edaran Menteri Agama terkait panduan ibadah bulan Ramadan di tengah wabah Virus Corona. Apalagi, dalam panduan itu disebutkan salat Tarawih dilakukan secara individual atau berjamaah bersama keluarga inti di rumah.
Pelaksanaan Salat Idul Fitri yang lazimnya dilaksanakan secara berjamaah, baik di masjid atau di lapangan ditiadakan.
“Kalau keadaan belum membaik kan jelas. Dalam edaran itu ada kata-kata dalam kondisi tidak memungkinkan, kalau itu alasannya kita terima, tapi jangan digeneralisir. Jangan digebyah uyah,” lanjut Pengasuh Ponpes Miftachus Sunnah, Kedung Tarukan, Surabaya ini.
Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar mencontohkan di Surabaya, ketika ada orang di salah satu kampung positif, maka satu kecamatan bahkan se-Surabaya di zona merah semua. “Padahal di Surabaya ada kecamatan yang masih (zona) hijau dan salat Jumat masih dilakukan,” ucapnya.