Opini  

Pengawasan Kebohongan soal Corona

Pengawasan Kebohongan soal Corona
Djoko Tetuko Abdul Latief

Provinsi Jakarta sejak tanggal 10 April 2020, sudah mengeterapkan Pengawasan Sosial Berskala Besar (PSBB), walaupun sampai Senin (13/4/2020)  masih banyak pelanggaran ringan, seperti tidak menggunakan masker, juga ojek online masih membonceng penumpang. Dan masih banyak pelanggaran terjadi.

Berbagai analisis pihak kesehatan, menyatakan prihatin sangat mendalam karena mendapatkan kondisi riil di lapangan, masih banyak warga yang mempedulikan tentang bahaya penyebaran Corona, melalui pertemuan warga dalam jumlah besar maupun jumlah kecil tetapi secara terus menerus, tanpa ada upaya pencegahan seperti menggunakan master. Bahkan tetap melakukan aktifitas yang membahayakan.

Lima kota penyangga Jakarta, Depok, Bekasi (kota/kab) dan Bogor (kota/kab), mulai Rabu besok (15 April 2020) diberlakukan PSBB, dengan model dan ketentuan 99 persen sama dengan Jakarta. Sehingga kita berharap sukses dan terbaik, sehingga data sesuai, dan tidak ada “kebohongan masyarakat”. Juga “ketidakpedulian masyarakat”. Semua harus gotong royong melawan Corona secara maksimal.

Hasil penelitian Institut Teknologi Bandung atau ITB kembali melakukan riset tentang pandemi virus Corona di Indonesia.

Melalui Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi (P2MS), ITB menyatakan, menurut Model Ricard’s Curve, Indonesia akan mengalami puncak jumlah kasus harian virus corona pada akhir Maret 2020 dan berakhir pada pertengahan April 2020.

Kini, Nuning Nuraini, salah satu peneliti ITB kembali membuat penelitian terkait fenomena pandemi virus Corona di Indonesia. Dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari situs resmi ITB, penelitian kali ini dilakukan bersama tim SimcovID.

Tim SimcovID terdiri atas belasan peneliti dari berbagai perguruan tinggi di antaranya ITB, Unpad, UGM, ITS, UB, Undana, bahkan termasuk peneliti di luar negeri asal Indonesia di Essex & Khalifa University, University of Southern Denmark, dan Oxford University.

Dalam kajian ilmiah terbarunya, Nuning dan Tim SimcovID. Para peneliti perguruan tinggi yang tergabung SimcovID Team merilis hasil riset terkait perkembangan kasus Covid-19 atau Virus Corona di Jakarta.

Salah satu temuan peneliti SimcovID yang mengejutkan adalah jumlah estimasi kasus positif Corona di Jakarta diprediksi telah mencapai 32 ribu kasus.

“32 ribu itu estimasi total kasus tak terdeteksi dengan asumsi tersebut tentunya dalam credible interval 86 persen,” ujar salah satu tim SimcovID, Nuning Nuraini, peneliti matematika epidomologi saat dihubungi, Sabtu 11 April 2020.

Nuning menyebutkan angka 32.000 tersebut didapat dari jumlah kepadatan kasus tertinggi yaitu di Jakarta dengan 315 kasus untuk setiap 100.000 populasi dengan Credibel Interval atau selang kepercayaan 86 persen CI: 72-557.

SimcovID menyebukan kepadatan kasus COVID19 di Jakarta jauh melebihi provinsi lain yang hanya berkisar di bawah 50 kasus per 100.000 populasi.

Hasil 32.000 kasus tersebut dihitung oleh tim SimcovID berdasarkan data kasus di Jakarta pada 31 Maret dengan kasus kematian 83 orang, dan kasus positif 747 pasien. Data itu disebut hanya 2,3 persen dari 32 ribu kasus yang diperkirakan positif terinfeksi virus Corona.

Hasil temuan tim Covid menunjukkan Jakarta dengan total kasus diprediksi paling tinggi 32 ribu, kemudian Jawa Barat 8.090 total kasus positif dan Jawa Timur 3.080 kasus positif. Kemudian provinsi di luar pulau Jawa, Bengkulu, Papua Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, dan Bali.

Dalam riset tersebut Nuning dan SimcovID menggunakan pendekatan SEIQRD yaitu Suceptible (rentan), Exposed (terpapar), Infected (terinfeksi) Quarantine (dikarantina), Recovery (sembuh), Death (meninggal). Dengan estimasi model SEIRQD, dari satu kematian positif Covid 19 dapat diperkirakan ada sekitar 385 kasus. Dan satu orang terjangkit menularkan kepada 3 orang sehat.

Tim SimcovID terdiri dari belasan peneliti dari berbagai perguruan tinggi di antaranya ITB, Unpad, UGM, ITS, Universitas Brawijaya, Undana, serta peneliti asal Indonesia di luar negeri, yaitu di Essex & Khalifa University, University of Southern Denmark, dan Oxford University. Hasil studi hanya terbatas untuk provinsi dengan jumlah kematian yang lebih dari nol. Model penelitian valid jika sebagian besar pasien corona yang meninggal tidak berpindah provinsi selama 2 minggu.