Opini  

Oleh Djoko Tetuko : Belajar dari ’’Super’’ dan Supersemar

Oleh Djoko Tetuko : Belajar dari ’’Super’’ dan Supersemar

Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap di istana untuk menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta. A.M Hanafi sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga jendral itu tadi mereka inilah yang pergi ke Istana Bogor, menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu. Dan menurutnya mereka bertolak dari istana yang sebelumnya, dari istana merdeka Amir Machmud menelepon kepada Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta izin untuk datang ke Bogor. Dan semua itu ada saksinya-saksinya.

Ketiga jendral ini rupanya sudah membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar. Di sanalah Bung Karno, tetapi tidak ditodong, sebab mereka datang baik-baik. Tetapi di luar istana sudah di kelilingi demonstrasi-demonstrasi dan tank-tank ada di luar jalanan istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa, rupanya Bung Karno menandatangani surat itu. Jadi A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuan dia, sebab dia tidak hadir di Bogor tetapi berada di Istana Merdeka bersama dengan menteri-menteri lain. Jadi yang datang ke Istana Bogor tidak ada Jendral Panggabean. Bapak Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam, tidak hadir.

Tentang pengetik Supersemar. Siapa sebenarnya yang mengetik surat tersebut, masih tidak jelas. Ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, saat itu sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.

Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, Ben Anderson, oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor. Tentara tersebut mengemukakan bahwa Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas Besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan. Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.

Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini. Bahkan, ANRI telah berkali-kali meminta kepada Jendral (Purn) M. Jusuf, yang merupakan saksi terakhir hingga akhir hayatnya 8 September 2004, agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal. Lembaga ini juga sempat meminta bantuan Muladi yang ketika itu menjabat Mensesneg, Jusuf Kalla, dan M. Saelan, bahkan meminta DPR untuk memanggil M. Jusuf. Sampai sekarang, usaha ANRI itu tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya, adalah mantan presiden Soeharto. Namun dengan wafatnya mantan Presiden Soeharto pada 27 Januari 2008, membuat sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap.

Dengan kesimpangsiuran Supersemar itu, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia mengatakan bahwa peristiwa G-30-S/PKI dan Supersemar adalah salah satu dari sekian sejarah Indonesia yang masih gelap.

Sekali lagi, tulisan ini sekedar catatan sebagai proses belajar dari sejarah memberikan prdikat ’’super’’ di bumi pertiwi Indonesia, ternyata tidak dapat diterima dengan akal sehat dan selalu saja menyisahkan ‘’penderitaan panjang’’ rakyat Indonesia. Dan, terbukti sampai detik ini masih banyak warna negara belum memperoleh keadilan sosial sebagaimana bunyi sila kelima Pancasila. Juga masih belum memperoleh hak-hak dasar sebagaimana bunyi sila-sila Pancasila Bahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan berbagai riak-riak dinamis, ternyata walaupun sudah membukukan kemerdekaan hampir ¾ abad (75 tahun) pada tahun 2020, tahun depan. Masih jauh api dari panggang, mensejahterakan dan memakmurkan seluruh rakyat Indonesia..

Perjuangan para pendiri negara dengan harapan menciptakan model berbangsa dan bernegara sebagaimana amanat pada Undang Undang Dasar 1945, rasanya semakin jauh dari harapan. Jantung ekonomi negara sebagaimana diamanatkan, dengan diatur sedemikian rupa berdasarkan kekuasaan legislatif dan eksekutif, bukan lagi menjadi ’’kebanggaan rakyat Indonesia’’. Mengingat rakyat hanya sebagai penonton di tribun ekonomi, bahkan lebih banyak di luar stadion saat pertandingan atau perlombaan olahraga itu berlangsung.

Seperti cerita dalam hikayat, rakyat atau warga negara seperti terhiptonis permainan sulap dengan mantra-mantra standar, ’’ … bim salabim …’’, maka semua sudah menerima apa adanya. Bahkan tidak berlebihan harus menyerahkan diri sebagai ’’pembantu’’ pun harus menyatakan bangga kepada para majikan. Padahal majikan itu entah mendapat sumber kekayaan dari mana? Lebih parah lagi menjadi pembantunya ’’pembantu’’. Tetap tegap menyatakan setia menjadi abdi sejati. (*)