Oleh : Djoko Tetuko (Pemimpin Redaksi Transparansi)
Khalifah tiba-tiba menjadi perbincangan, ketika Kapolres Kota Pasuruan dan Kapolsek Medan Baru, Polonia, Medan, karena sentuhan kepemimpinannya begitu menyentuh hati rakyat, maka mendapat apreasiasi sebagai Polisi “Sang Khalifah”.
Apa beda dengan Khofifah, dimana secara kebetulan Gubernur Jawa Timur periode 2019-2024, ialah Khofifah Indarparawansa, dengan nama asli Khofifah. Khofifah adalah nama indah bayi perempuan dengan makna menurut orang awam pemimpin, sehingga lebih empat Khofifah memang gelar pemimpin perempuan dengan jiwa Khalifah.
Dalam kitab suci Al-Qur’an Allah SWT menyebut dua kali kata khalifah. Pertama, terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 30,”Inni ja’il fi al-ardh khalifah” dan yang kedua, terdapat pada surat al-Shad ayat 26,”Ya Dawud Inna ja’alnaka khalifah fi al-ardh”. Khalifah dapat diartikan sebagai pengganti atau wakil, dalam hal ini pengganti atau wakil Allah di muka bumi dan dapat diartikan juga sebagai pemimpin.
Jika menganalisis kedua ayat tersebut, ada beberapa hal yang dapat kita lihat. Pertama, kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa kata khalifah digunakan oleh Al-Qur’an untuk manusia yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Dalam hal ini Daud mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan.
Kedua, ayat tersebut juga memperlihatkan bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara aktual, dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu. Karena itu, baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu.
Ketiga, hal yang menarik untuk diperbandingkan dari kedua ayat tersebut adalah terkait pengangkatan Adam sebagai khalifah dijelaskan Allah dalam bentuk tunggal, inni (sesungguhnya Aku), sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan dengan menggunakan kata inna (sesungguhnya Kami). Jika benar kaidah yang mengatakan bahwa penggunaan bentuk plural, selain berarti li ta’zhim, juga bisa bermakna mengandung keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni masyarakat atau rakyat. Adapun Adam dipilih langsung oleh Allah, tanpa unsur keterlibatan pihak lain.
Keempat, dalam ayat tersebut juga diperlihatkan bahwa khalifah adalah orang yang menjalankan amanah dan bukan pemberi amanah. Oleh karena itu, dalam pandangan Al-Qur’an, pemimpin yang diangkat oleh masyarakat sebenarnya berada pada posisi menerima amanah, sedangkan masyarakat sebagai pemberi amanah. Tentu saja, ajaran agama mengatur bahwa penerima amanah, pada saatnya nanti, harus mempertanggungjawabkan amanahnya kepada si pemberi amanah, yaitu pada “pengadilan” masyarakat di dunia, dan “pengadilan” Allah SWT di padang mahsar nanti. Dalam konteks kedua ayat tadi, Adam menerima amanah langsung dari Allah dan Daud menerima amanah dari Allah dan dari masyarakat yang perlu untuk ditunaikan dan proses menenunaikan amanah adalah bagian dari ibadah.
Berkenaan dengan pemberian amanah, dalam Al-Qur’an surat al-Azhab ayat 72 cukup menghenyakkan,”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.”
Ayat tersebut berbicara bahwa manusia pada hakikatnya berada dalam kondisi berutang dan utang tersebut adalah eksistensi manusia itu sendiri yang mesti ditunaikan manusia dalam kehidupannya. Proses menunaikan utang atau amanah tersebutlah yang hari ini kita sebut dengan ibadah. Amanah yang diambil oleh manusia langsung dari Allah adalah dalam bentuk teosentrik (kewajiban syar’i), kosmosentrik (pengembangan alam semesta) dan antroposentrik (kebaikan antarsesama manusia).