PUJANGGA memang tidak selalu memberikan ular-ular (pesan suci) melalui majelis pengajian akbar. Show of force di lapangan sepakbola. Konser tunggal dengan tema Persatuan atau lebel dan simbol-simbol kebesaran berbau kekuasaan. Apalagi berparas kenegarawanan.
Tetapi lewat goresan bait syair itulah maka syair seru telah teralirkan ke seluruh penjuru bumi, juga langit dalam sekejab mata memandang, dalam sedetik telinga seperti ditiup angin sepoi-poi merasakan dering negatif atau positif, dan dalam kisah lupa dalam mimpi indera lain seakan-akan larut dalam linangan air suci bersama cahaya pembawa wabah dan berkah.
Pujangga memang tidak selalu memberikan fatwa dengan membawa setumpuk kitab suci dari agama apa saja, tetapi fatwa pujangga justru lebih dahsyat karena memang berkasiat, lebih menyentuh nurani ketika umat merasa terobati, menyentuh aura ketika penguasa merasa ada sinar (cahya) setelah kegelapan, menyentuh jiwa ketika para pendeta merasa menemukan telaga, menyentuh raga ketika jutaan tentara merasa tergugah (dari tidur dan mimpi nyata).
Pujangga memang tidak selalu memberikan pesan apalagi menekan angan dengan pedang atau keris “kolo munyeng”, tetapi justru jauh lebih mempesona dan meninggalkan kesan seakan-akan membawa menikmati sebuah keagungan, walau hanya sekedar setetes banyu pengutipan (air kehidupan). Dalam kehidupan sesungguhnya.
Pujangga atau bujangga, menurut kamus, adalah sebutan bagi para pengarang hasil-hasil sastra, baik puisi maupun prosa; ahli pikir; ahli sastra. Padan kata pujangga adalah sastrawan dan penulis.
Sang Maestro Didi Kempot, terlalu naif jika sekedar disebut sebagai pujangga, karena memang lebih kaya dalam memberi makna juga khazanah. Juga bukan berarti tidak ada aliran dalam diri almarhum cermin sebagai pujangga, tetapi justru lebih dari itu. Dan salah satu karya besar sekaligus bermakna sebagai fatwa tersurat dalam linangan air mata, fatwa tersamar dalam kancah suka cita melayang-layang di atas singgasana.
Salah satu karya besar terakhir dengan mengambil “unen-unen” Jawa (kalimat kasiat bermakna keramat), “Tombo Teko Loro Lungo” (Obat Datang Penyakit Pergi), mengandung makna sangat hakiki sebagai pesan suci, sebuah rahmat dan hidayah bagi siapa saja ketika ingin menyapa lupa, walau hanya sekedar menjual ramah atau sekedar menggadaikan marah.
Mengapa antara ramah dan marah mengalir dari bait lirik lagu “Tombo Teko Loro Lungo” (Obat Datang Penyakit Pergi), ada sebuah filosofi begitu menggelitik ketika lampu-lampu langit menjadi cermin dari semua peristiwa, “bisaku mung nyawang dimar jagad sing ning mego” (“bisa saya cuma melihat lampu Jagad yang ada di mega”).
Mengapa antara ramah dan marah mengalir dari bait lirik lagu “Tombo Teko Loro Lungo” (Obat Datang Penyakit Pergi), ada sebuah filosofi begitu pasrah ketika memohon kepada ILAHI ROBBI, “tombo teko loro lungo duh Gusti enggal singkirno” (“obat datang penyakit pergi, Ya Allah segera singkirkan”). Duh Gusti enggal welaso” (“obat datang penyakit pergi, Ya Allah segera beri kasih sayangMU)
Sekedar coretan sangat ringan, sebagai salam takdim kepada almarhum dengan menukil beberapa tembang hasil karya besar maupun karya kecil, hasil gubahan pujangga atau goresan penjajah jalanan. Juga sekedar menafsir siapa tahu tidak salah tafsir, apalagi dijauhkan dari sifat kikir.
Sekedar tahu saja, inilah lirik Lagu “Tombo Teko Loro Lungo”
pingin nyawang wes suwe kowe ra bali
sing tak suwun ning kono sing ngati-ati
bisaku mung nyawang
dimar jagad sing ning mego
ayang-ayangmu katon ning netro..
aku lilo yen kowe rung biso bali
lahir batin aku lilo tak estoni
senajan kangen tenan
rasane ati iki
nganti kapan sirnane pacoban iki..
tombo teko loro lungo
duh Gusti enggal singkirno
leloro sing wonten negari kulo..
tombo teko loro lungo