duh Gusti enggal welaso
paringono welas asih mring kawulo..
pingin nyawang wes suwe kowe ra bali
sing tak suwun ning kono sing ngati-ati
bisaku mung nyawang
dimar jagad sing ning mego
ayang-ayangmu katon ning netro..
aku lilo yen kowe rung biso bali
lahir batin aku lilo tak estoni
senajan kangen tenan
rasane ono ing ati
nganti kapan sirnane pacoban iki..
tombo teko loro lungo
duh Gusti enggal singkirno
leloro sing wonten negari kulo..
tombo teko loro lungo
duh Gusti enggal welaso
paringono welas asih mring kawulo..
paringono welas asih mring kawulo..
Bait lirik lagu di atas dengan beberapa cuplikan yang mengandung makna begitu bermarwah bahkan memancarkan cahaya juga menampakkan wajah-wajah antara dunia nyata dan alam nyawa. Sesungguhnya ada kesamaan sebagai pertanda sekaligus harapan wabah virus Corona segera sirna.
Cuplikan bait syair; “nganti kapan sirnane pacoban iki…(“sampai kapan sirnanya cobaan ini”), maka antara sinar sebagai damar/dimar (lampu) akan mengakhiri sirnanya wabah virus Corona. Tentu bukan kebetulan bahwa tanda-tanda itu memang mulai bermunculan. Tetapi sang Maestro Didi Kempot sudah “mudik”, tidak mungkin diminta otak-atik bait syair penuh syiar itu.
Hari-hari ini, dan hari-hari kemarim ketika sang Maestro Didi Kempot “Mudik” ke alam penantian, hari-hari lain pak Tani dan Nelayan yang biasa mendapat dimar (lampu) dari dimar Jagad akhirat (lampu dunia akhirat) sebagai petunjuk mendapat tanda-tanda sama. “Tombo Teko Loro Lungo” (Obat Datang Penyakit Pergi), semoga benar-benar segera terwujud karena sudah banyak mengilhami “tukang sujud”.
Hari-hari ini, dan hari-hari kemarin semua memang berharap sama, bermunajat sama, bersama-sama dalam sujud panjang, bersama-sama dalam sinar dan sirna, bersama-sama menerima syair sekaligus mendapat perintah syiar.
Kapan kepastian itu akan datang. Mari berdendang, bersama musik campur sari …. “paringono welas asih mring kawulo…” (“berikanlah — Ya Allah — kasih sayangMu, kepada hambaMu”). (Djoko Tetuko)