PUJANGGA memang tidak selalu memberikan ular-ular (pesan suci) melalui majelis pengajian akbar. Show of force di lapangan sepakbola. Konser tunggal dengan tema Persatuan atau lebel dan simbol-simbol kebesaran berbau kekuasaan. Apalagi berparas kenegarawanan.
Tetapi lewat goresan bait syair itulah maka syair seru telah teralirkan ke seluruh penjuru bumi, juga langit dalam sekejab mata memandang, dalam sedetik telinga seperti ditiup angin sepoi-poi merasakan dering negatif atau positif, dan dalam kisah lupa dalam mimpi indera lain seakan-akan larut dalam linangan air suci bersama cahaya pembawa wabah dan berkah.
Pujangga memang tidak selalu memberikan fatwa dengan membawa setumpuk kitab suci dari agama apa saja, tetapi fatwa pujangga justru lebih dahsyat karena memang berkasiat, lebih menyentuh nurani ketika umat merasa terobati, menyentuh aura ketika penguasa merasa ada sinar (cahya) setelah kegelapan, menyentuh jiwa ketika para pendeta merasa menemukan telaga, menyentuh raga ketika jutaan tentara merasa tergugah (dari tidur dan mimpi nyata).
Pujangga memang tidak selalu memberikan pesan apalagi menekan angan dengan pedang atau keris “kolo munyeng”, tetapi justru jauh lebih mempesona dan meninggalkan kesan seakan-akan membawa menikmati sebuah keagungan, walau hanya sekedar setetes banyu pengutipan (air kehidupan). Dalam kehidupan sesungguhnya.