SURABAYA, WartaTransparansi.com – Komisi B DPRD Kota Surabaya menyesalkan adanya dugaan pelanggaran berat yang dilakukan salah satu tempat Rekreasi Hiburan Umum (RHU) di Surabaya karena melibatkan pengunjung di bawah umur. Pelanggaran tersebut dinilai mencoreng predikat Surabaya sebagai Kota Layak Anak.
Ketua Komisi B DPRD Surabaya Mohammad Faridz Afif, menegaskan bahwa temuan ini menunjukkan kurangnya kepatuhan pengelola RHU terhadap aturan. Ia menyebut, pihaknya telah melakukan pendalaman terhadap laporan tersebut dan menemukan sejumlah indikasi pelanggaran serius.
“Kita menyesalkan karena ada anak di bawah umur masuk ke situ, padahal mereka tahu aturannya. Itu pelanggaran berat. Komisi mencoba mendalami, karena kita khawatir klub-klub di Surabaya kalau tidak diingatkan akan terus seperti ini,” ujarnya.
Menurutnya, hasil peninjauan lapangan bersama Bapenda Kota Surabaya mengungkap adanya pola operasional yang tidak sesuai izin. Tempat tersebut diketahui memiliki restoran, karaoke, hingga klub malam yang berjalan tanpa jeda operasional sebagaimana ketentuan.
“Harusnya ada jeda antara resto dan klub malam. Kalau memang izinnya restoran, ya harus jelas batasannya. Tapi ini ada tumpangan—mengaku resto, tapi beroperasi sampai malam seperti klub,” tegasnya.
Ada Dugaan Pelanggaran Pajak dan Batasan Alkohol
Selain melanggar aturan operasional, Komisi B juga menemukan potensi pelanggaran pajak. Pajak hiburan, pajak makanan-minuman, hingga pajak minuman beralkohol disebut perlu diaudit ulang.
“Jangan cuma pajak makannya saja. Ada pajak hiburan, pajak miras, semuanya harus diteliti. Apalagi kadar alkohol yang dijual kadang melebihi batas izin, dari yang seharusnya 40–50 persen,” jelasnya.
Ia mencontohkan, pelanggaran aturan kadar alkohol dapat berdampak fatal, seperti kecelakaan yang pernah terjadi karena pengunjung mabuk berat. Kasus terbaru, seorang anak di bawah umur dilaporkan dalam kondisi mabuk setelah keluar dari tempat hiburan tersebut.
Dengan berbagai temuan itu, Komisi B sepakat memberikan rekomendasi tegas kepada Pemkot Surabaya agar melakukan hold atau penutupan sementara terhadap RHU yang terbukti melanggar.
“Kalau masih ada pelanggaran, ya kita minta tempat itu di-hold dulu. Ditindak ulang, dicek izinnya, pajaknya, semuanya. Kalau merusak generasi kita, untuk apa dibiarkan?” ucap Mochammad Machmud, anggota Komisi B DPRD Surabaya.
Bahkan, ia menegaskan komitmen Komisi B terkait sanksi bagi RHU bandel. “Kalau saya cuma lima huruf saja: tutup. Komisi B sepakat tutup sementara,” tandasnya.
Komisi B memastikan akan mengintensifkan pengawasan terhadap RHU di Surabaya agar tidak ada lagi pelanggaran yang membahayakan masyarakat, terutama anak-anak.
Menanggapi hal ini, manajemen Black OWL angkat bicara terkait dugaan kasus pelecehan terhadap anak di bawah umur yang menyeret nama salah satu mantan karyawannya. Pihak manajemen menegaskan bahwa kejadian tersebut tidak terjadi di area Black OWL, dan mereka telah bertindak tegas dengan memecat karyawan terkait kurang dari 24 jam setelah kejadian.
Manager Legal Department Black OWL, Egi Ramadan, menjelaskan bahwa perusahaan langsung melakukan klarifikasi internal dan mengeluarkan karyawan yang bersangkutan pada hari berikutnya.
“Dari sisi Black OWL, kami sudah mengeluarkan karyawan tersebut sehari setelah kejadian. Kami punya bukti bahwa klarifikasi sudah dilakukan dan yang bersangkutan mengakui. Lokasi kejadian juga bukan di tempat kami,” ujar Egi
Egi menjelaskan bahwa korban datang ke Black Owl bukan untuk rekreasi, tetapi memenuhi panggilan kerja sebagai penyanyi. Namun, pihak yang memesan jasanya tidak hadir, sehingga ia ditemani oleh mantan supervisor Black Owl yang kemudian diduga melakukan tindakan pelecehan di sebuah hotel.
“Korban datang untuk memenuhi panggilan kerja menyanyi. Karena yang memanggil tidak datang, dia minta ditemani dan bertemulah dengan mantan karyawan kami. Kejadian pelecehannya itu di hotel, bukan di outlet kami,” tegas Egi.
Hadir Bersama Orang Tua
Manajemen juga menegaskan bahwa Black Owl menerapkan aturan 21+, sehingga anak di bawah umur tidak boleh masuk. Namun, korban sebelumnya datang bersama orang tuanya.
“Anak di bawah 21 tahun tidak diperbolehkan masuk. Tapi yang bersangkutan datang bersama orang tuanya, dan mereka memaksa untuk tetap masuk. Ini juga bentuk kelalaian dari pihak orang tua,” jelas Egi.
Karyawan yang terlibat merupakan seorang supervisor, posisi yang seharusnya memahami penuh aturan operasional. Keputusan memecat diambil karena ia terbukti meninggalkan outlet sebelum jam kerja selesai dan melakukan pelanggaran berat di luar tempat kerja.
“Secara aturan, supervisor harusnya lebih paham. Ketika dia tidak menjalankan aturan dan bahkan meninggalkan outlet sebelum jam pulang, konsekuensinya jelas: kami keluarkan,” ucap Egi.
Egi menegaskan bahwa insiden ini merupakan kasus pertama. “Ini pertama kali terjadi. Kami juga terpukul atas kejadian ini. Tapi kami tegas, tidak sampai 24 jam, karyawan itu langsung kami keluarkan.”
Pihak Black OWL menyatakan siap memberikan klarifikasi jika sewaktu-waktu diminta oleh pihak berwenang atau keluarga korban.
“Kalau nanti ada hal-hal yang mengarah ke Black Owl, kami siap dimintai keterangan,” tutup Egi. (*)





