Oleh : Mujianto S.Sos, MSi (Ketua Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Blitar
Framing politik adalah cara pandang yang digunakan untuk menyajikan dan memahami fenomena politik, yang pada akhirnya membentuk opini dan persepsi masyarakat tentang politik.
Pendekatan ini sangat penting dalam komunikasi politik dan media massa karena membantu menyederhanakan informasi kompleks agar lebih mudah dicerna oleh publik, sekaligus memainkan peran dalam membentuk agenda dan narasi politik di masyarakat.
Framing ini dapat menentukan aspek mana dari realitas politik yang ditonjolkan dan mana yang diabaikan, sehingga membentuk persepsi publik terhadap masalah tokoh, atau kebijakan politik.
Proses ini terdiri dari beberapa langkah, termasuk identifikasi masalah, interpretasi sebab-akibat, evaluasi moral, dan saran penanganan yang membuat pemberitaan lebih mudah diingat dan dipahami.
Dengan framing, media atau pelaku politik dapat memengaruhi opini publik dan membentuk pandangan terhadap suatu peristiwa atau isu politik secara spesifik.
Teori framing pertama kali diperkenalkan oleh antropolog dan epistemology Gregory Bateston pada tahun 1972, Bateston mendefinisikan framing sebagai konsep psikologis yang berfungsi sebagai mekanisme untuk menetapkan batasan spasial dan temporal pada suatu pesan interaktif, sehingga mempengaruhi cara pandang seseorang dalam memahami konten dalam konteks tertentu.
Framing tentang disharmonisasi kepala daerah dan wakilnya ini menjadi faktor utama yang kerap diangkat secara konsisten.
Pertama, media memframing disharmonisasi terutama sebagai akibat dari kepentingan politik yang bertabrakan, terutama jelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau pemilu legislatif. Keduanya sering berlomba merebut pengaruh politik, baik untuk melanjutkan jabatan maupun menguatkan posisi politik keluarga dan kelompok.
Kedua, pembagian kewenangan yang tidak adil antara kepala daerah dan wakil kepala daerah juga menjadi sorotan dalam framing. Kepala daerah biasanya memiliki kewenangan strategis dan keputusan akhir sehingga wakil kepala daerah merasa terpinggirkan, menimbulkan ketegangan.
Ketiga, faktor pengaruh elit politik dan perbedaan idealisme atau visi pembangunan turut dibingkai sebagai penyebab konflik. Media menampilkan disharmonisasi ini sebagai penyebab instabilitas politik, birokrasi terpecah, dan pelayanan publik yang terhambat di daerah.