Kediri  

KUHP Baru Dinilai Ancaman Baru Demokrasi: Advokat, Akademisi, dan Aktivis Kediri Suarakan Peringatan Dini

KUHP Baru Dinilai Ancaman Baru Demokrasi: Advokat, Akademisi, dan Aktivis Kediri Suarakan Peringatan Dini
Tiga tokoh hukum di Kediri tengah mengulas pasal-pasal kontroversial dalam KUHP baru yang dinilai berpotensi mengancam kebebasan sipil menjelang pemberlakuan Januari 2026.(Foto: hasil kecerdasan ai google gemini)

Menurutnya, aturan ini bisa mengacaukan sistem hunian mahasiswa dan buruh migran, sekaligus menyasar kelompok seperti pasangan siri yang belum diakui negara.

Isu kesehatan masyarakat pun tak luput dari sorotan Hanjar, terutama pasal yang melarang sosialisasi alat kontrasepsi jika tidak dilakukan pihak bersertifikasi.

“Jumlah rasio petugas kesehatan sama kebutuhan di masyarakat itu sangat timpang. Sehingga ada peran-peran LSM atau mungkin kader kesehatan yang selama ini turun di masyarakat memberikan edukasi. Tetapi mereka ini bisa dipidana. Kenapa? Karena tidak mempunyai sertifikasi khusus,” tegasnya.

Ia menyebut aturan itu berpotensi menghambat upaya penanggulangan stunting, pendidikan kesehatan reproduksi, dan program keluarga berencana.

 

Dari kalangan akademisi, kritik tajam datang dari Dosen Fakultas Hukum Universitas Kadiri, Divi Kusumaningrum, S.H., M.H. Ia menilai bahwa kontroversi terbesar KUHP baru justru muncul dari isu Tipikor. Ia menyebut pembahasan tindak pidana korupsi dalam KUHP baru “menjadi highlight utama rakyat itu kurang menyetujui KUHP”. Menurut Divi, KUHP baru terlalu lunak terhadap pelaku korupsi karena cenderung mengedepankan sanksi administratif.

“Efek jeranya pun juga harus ada. Harus yang pertama, pasti harus ada ancaman hukuman mati. Karena itu extraordinary crime. Yang kedua, dia harus mengembalikan kerugian negara dan aset-asetnya pun semuanya harus benar-benar dikurasi,” katanya.

Divi mendorong agar KUHP menjadi satu kesatuan sistem hukum yang harmonis, bukan tumpang tindih. Menurutnya, sistem hukum pidana Indonesia sudah terlalu “terpecah” karena banyak tindak pidana diatur di luar KUHP.

Divi Kusumaningrum, Dosen FH Universitas Kadiri, menunjukkan salinan UU KUHP baru di ponselnya.
Divi Kusumaningrum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Kadiri, S.H., M.H., menunjukkan salinan KUHP baru di ponselnya, mengkritisi kelemahan aturan terkait Tipikor dan pentingnya harmonisasi undang-undang.(Foto: Moch Abi Madyan)

“Kalau menurut saya ya harus dalam kesatuan KUHP itu memang harus sudah semua diatur, harus jadi satu KUHP sehingga harmonisasi undang-undang itu dapat terwujud,” ujarnya.

Ia menyebut Indonesia semestinya belajar dari negara seperti Tiongkok yang menerapkan hukuman dan perampasan aset secara ketat bagi pelaku korupsi. “Dimiskinkan dan keluarganya pun juga tidak bisa menikmati itu,” katanya.

Meski demikian, Divi mengakui bahwa pengesahan KUHP baru adalah keniscayaan karena KUHP kolonial dinilai sudah “usang”. Namun ia menekankan satu hal: pemerintah berkewajiban menyosialisasikan isi aturan kepada publik secara luas.

“Mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakat supaya tidak ada yang terjebak karena alasan tidak tahu,” ujarnya.

Dengan rentang pasal kontroversial seperti penghinaan presiden, kohabitasi, kriminalisasi LGBT, pembatasan demonstrasi, hingga pasal santet, KUHP baru secara umum dinilai membuka celah bagi represi. Human Rights Watch bahkan menyebut sejumlah pasalnya sebagai “oppressive and vague” opresif dan kabur karena dapat mengkriminalisasi warga biasa.

Kini, dengan masa pemberlakuan yang tinggal beberapa bulan, wacana uji materi dan revisi terbatas terus bergulir. Advokat, akademisi, dan aktivis di Kediri sepakat bahwa KUHP baru perlu diwaspadai, diawasi, dan dirumuskan ulang jika perlu. Perdebatan mengenai masa depan kebebasan sipil pun diperkirakan makin memanas, seiring kekhawatiran publik bahwa KUHP baru justru menjadi “babak baru” bagi penyempitan demokrasi. (*)

Penulis: Moch Abi Madyan