KEDIRI (WartaTransparansi.com) – Jelang pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada Januari 2026, kecemasan publik makin menguat. Di Kediri, tiga tokoh hukum mulai dari advokat, aktivis, hingga akademisi, kompak menilai bahwa kehadiran KUHP baru justru membuka ancaman terhadap kebebasan sipil, meminggirkan kelompok rentan, serta menghadirkan pasal-pasal karet yang berpotensi disalahgunakan oleh aparat. Mereka menyebut KUHP yang diklaim sebagai pembaruan hukum nasional itu justru menyimpan potensi represi yang tidak kecil.
Presidium DPC Kongres Advokat Indonesia (KAI) Kediri, Moch Mahbuba, menegaskan bahwa sejumlah pasal di dalam KUHP baru disinyalir berpotensi menekan kebebasan sipil dan menjerat rakyat kecil.
Menurutnya, KUHP harus dilihat bukan hanya sebagai pembaruan hukum, tetapi juga sebagai alat yang bisa digunakan negara untuk menjerat warganya.
“KUHP ini memang produk bangsa sendiri, tapi beberapa pasal terasa aneh dan rawan digunakan untuk menekan kebebasan sipil,” kata Mahbuba di Kediri, Jumat 21 November 2025.
Ia mencontohkan pasal penghinaan presiden yang diklaim membawa ancaman enam bulan penjara.
“Padahal kritik adalah bagian dari demokrasi. Kalau setiap suara berbeda dianggap penghinaan, bagaimana ruang publik bisa sehat?,” ujarnya.
Di luar itu, Mahbuba menilai sejumlah aturan dalam KUHP baru secara substansial tidak mencerminkan keadilan, khususnya bagi kelompok rentan. Ia menyoroti pasal kriminalisasi gelandangan yang disertai denda Rp1 juta. Menurutnya, pendekatan pidana terhadap masalah sosial hanya memperburuk kondisi kelompok lemah. “Bukannya dilindungi, mereka malah semakin dipinggirkan. Negara seharusnya hadir memberi solusi sosial, bukan menambah beban hukum,” tegasnya.
Ia juga menyoroti sejumlah pasal lain yang dianggap “absurd dan tidak proporsional”, seperti denda Rp10 juta untuk hewan peliharaan yang masuk kebun orang, hukuman tiga tahun bagi pelaku santet, hingga ancaman lima tahun bagi tindakan tidak hormat kepada hakim.
Sentimen senada disampaikan Hanjar Makhmucik, praktisi hukum dan Ketua Yayasan Redline Kota Kediri. Hanjar menyebut KUHP baru “penuh pasal karet” dan secara teknis sulit diterapkan. Aturan mengenai “living law” menjadi salah satu sorotan terbesarnya.
“KUHP ini kan sebenarnya disahkan itu secara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Baru nanti berjalan aktif itu di 2 Januari 2026,” ujarnya.
Ia mempertanyakan bagaimana prinsip hukum adat itu diberlakukan secara nasional. “Bagaimana ketika misalkan orang Bali kemudian berkunjung ke Aceh, dia harus tunduk pada hukum yang ada di Aceh. Cuma, apakah orang Bali itu memahami inti dari seluruh aturan hukum yang ada di Aceh?” katanya.
Hanjar juga mengkritik pasal tentang kohabitasi yang memidanakan orang dewasa yang tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Ia menyebut penerapan pasal ini tidak realistis dalam konteks kehidupan urban.
“Kemudian pertanyaannya bagaimana dengan kos-kosan, kontrakan? Setiap orang itu kan otomatis usia dewasa, 18 tahun. Mahasiswa tinggal di satu kos-kosan yang campur perempuan dan laki-laki,” ujarnya.





