Pembiayaan itu, nantinya ditujukan kepada daerah yang menghasilkan sampah di atas 1000 ton per hari. Selain itu, pemerintah daerah juga diminta untuk menyiapkan lahan minimal seluas 5 hektar untuk tempat pengolahan sampah menjadi energi listrik.
“Maka dimunculkan lah peraturan presiden (Perpres) untuk semuanya akan di-cover oleh Danantara. Baik itu terkait dengan pembiayaan, investasi, dan lain-lainnya, serta terkait dengan pemilihan investor yang akan menggerakkan sampah menjadi listrik,” terangnya.
Eri berharap, Kota Surabaya juga mendapatkan cover pembiayaan dari Danantara untuk pengolahan sampah menjadi energi listrik. Namun, ternyata pemerintah pusat malah meminta Kota Surabaya agar memanfaatkan pembiayaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
“Kemarin minta kementerian agar dicover juga, tapi beliau mengatakan kalau Surabaya ini satu-satunya kota yang fiskalnya 73 persen. Karena fiskalnya kuat, Surabaya bisa membantu daerah yang lainnya. Surabaya yang kuat berjalan dengan inovasinya, kita diminta untuk terus menjalankan menggunakan APBD, dan Surabaya tidak di-cover,” harapnya.
Sementara itu, Bupati Bantul Abdul Halim Muslih menilai, teknologi gasifikasi pengolahan sampah menjadi tenaga listrik PSEL Benowo sudah sangat baik. Menurutnya, daerah-daerah yang belum memiliki teknologi tersebut, perlu melihat secara langsung sistem pengolahan sampah di Kota Surabaya.
“Seluruh daerah di Indonesia saat ini sedang berkepentingan mengolah sampah secara modern, efisien secara biaya, maupun ramah lingkungan. Nah, kita seluruh kepala daerah sedang belajar bersama bagaimana mendapatkan alternatif pengelolaan yang lebih efisien dari segi biaya,” kata Halim.
Dia menilai, pembiayaan tipping fee pengelolaan sampah di Kota Surabaya juga tergolong murah daripada daerah lainnya. Sebab, akunya, banyak daerah itu tipping fee-nya sampai Rp500-Rp600 ribu per ton. Sedangkan Kota Surabaya hanya Rp290 ribu per ton, yang artinya efisien. (*)