Opini  

Krisis Komunikasi Politik di Daerah: Belajar Dari Kasus Kabupaten Pati

Krisis Komunikasi Politik di Daerah: Belajar Dari Kasus Kabupaten Pati
Sutikno

*Komunikasi Adalah Kebijakan Itu Sendiri*

Protes publik yang terjadi adalah bentuk dari malfungsi komunikasi politik bukan sekadar penolakan substansi kebijakan. Hal yang juga penting adalah konsistensi antara janji politik dan implementasi kebijakan. Ketika pemimpin daerah tidak menepati janjinya apalagi tanpa penjelasan yang masuk akal, kepercayaan publik akan terkikis. Pada titik tertentu, bukan hanya kebijakan yang ditolak, tapi juga legitimasi pemerintahannya.

Refleksi untuk Pemerintah Daerah

Kasus Pati bukanlah satu-satunya. Namun, ini menjadi pelajaran penting bahwa komunikasi politik bukan sekadar pelengkap kebijakan. Ia adalah bagian inti dari proses kebijakan publik yang sehat. Pemerintah daerah harus memikirkan ulang bagaimana mereka berkomunikasi dengan warganya.
Beberapa hal perlu diperhatikan:
1. Sampaikan kebijakan secara terbuka sejak awal, bukan setelah masyarakat bereaksi.
2. Pelibatan warga melalui forum dialog, sosialisasi, dan konsultasi publik adalah
keharusan, bukan pilihan.
3. Fungsi humas dan DPRD sebagai penghubung komunikasi publik harus diperkuat, bukan dikesampingkan.
4. Buat narasi yang membumi dan mudah dipahami bukan sekadar menyajikan angka, tetapi juga menjawab “mengapa” dan “bagaimana”.

Rekomendasi utama adalah membangun pendekatan komunikasi publik yang empatik, partisipatif, dan terstruktur, sehingga setiap kebijakan tidak hanya legal secara prosedural, tetapi

juga legitim secara sosial. Kita tidak bisa terus-menerus membenahi kebijakan hanya setelah muncul krisis. Komunikasi politik yang baik justru mencegah krisis itu datang.

Di era keterbukaan informasi dan partisipasi publik, pemerintah terutama di tingkat lokal tidak punya pilihan selain menjadikan komunikasi sebagai bagian utama dari kepemimpinan yang demokratis dan berempati. (*)