Oleh: Tsabit Qolby ‘Ala Diinika (Ketua SAPMA PP Magetan)
Delapan puluh tahun telah berlalu sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Momen ini bukan hanya tentang perayaan seremonial, melainkan saat yang tepat untuk merefleksikan makna kemerdekaan yang sesungguhnya bukan hanya kemerdekaan politik, tetapi juga kemerdekaan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.
Kemerdekaan formal yang diraih bangsa ini membuka jalan menuju kedaulatan dan pembangunan negara. Namun, kemerdekaan yang sejati lebih luas dari sekadar status politik; ia mencakup kebebasan individu dan kolektif dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks sosial, misalnya, kebebasan berekspresi dan kebebasan menjadi diri sendiri masih menghadapi banyak hambatan.
Tekanan sosial yang menuntut keseragaman dan norma yang kaku sering kali
membatasi ruang bagi keberagaman dan kreativitas individu.
Ketimpangan sosial-ekonomi masih menjadi tantangan serius. Masih ada jutaan warga yang
kesulitan mengakses pendidikan dan layanan kesehatan yang layak. Ketimpangan ini bukan
hanya persoalan angka, tetapi berkorelasi dengan kesempatan yang tidak merata untuk
menikmati kebebasan dan kemerdekaan dalam arti yang luas. Dalam kondisi seperti ini,
kemerdekaan terasa masih jauh dari kata lengkap.
Dalam ranah politik, Indonesia telah menerapkan sistem demokrasi yang memungkinkan
partisipasi warga negara secara luas. Namun, kebebasan berpendapat dan kebebasan sipil tidak selalu dijamin sepenuhnya.
Berbagai kasus kriminalisasi terhadap aktivis dan pembatasan
terhadap media independen menjadi tantangan serius bagi demokrasi yang sehat. Kebebasan
bukan hanya soal hak hukum, tetapi juga soal keberanian dan ruang nyata untuk mengemukakan pendapat tanpa rasa takut.
Kemerdekaan sejati, oleh karena itu, harus dilihat sebagai kondisi di mana setiap warga negara
dapat hidup bermartabat, bebas dari ketakutan, dan memiliki akses yang adil terhadap peluang
hidup.
Negara perlu hadir bukan hanya sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pelindung hak-hak
dasar dan pemberdaya masyarakat yang selama ini termarjinalkan.
Refleksi delapan puluh tahun kemerdekaan ini harus memacu kita untuk terus memperjuangkan
kemerdekaan yang lebih dari sekadar simbol atau seremonial. Ia harus menjadi komitmen
kolektif untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan adil, di mana kemerdekaan dirasakan
oleh semua, bukan hanya segelintir elit.
Karena selama kemerdekaan belum dirasakan secara merata baik secara sosial, ekonomi,
maupun politik maka tugas kita sebagai bangsa belum selesai. Kemerdekaan adalah proses
berkelanjutan yang memerlukan kesadaran, keberanian, dan kerja bersama demi mewujudkan cita cita kemerdekaan sesungguhnya. (*)