Sementara itu, anggota Pansus lainnya, Lutfiyah, menyampaikan keprihatinan atas minimnya pijakan hukum di tingkat daerah dalam hal pengawasan kesejahteraan hewan. Ia mengusulkan agar Perda ini dapat memberikan wewenang penuh kepada Pemerintah Kota Surabaya untuk mengatur soal sertifikasi, pengawasan hingga pelabelan halal produk hewani.
“Kalau kita hanya mengandalkan aturan dari pusat, tanpa landasan lokal yang kuat, pengawasan di lapangan akan pincang,” katanya.
Kepala DKPP Surabaya, Antik Sugiharti, menjelaskan bahwa Perda merupakan instrumen vital bagi pemerintah daerah dalam menetapkan sanksi tegas, baik administratif maupun pidana. Ia menambahkan, Peraturan Wali Kota (Perwali) hanya bisa diterbitkan jika sudah ada Perda yang menjadi payung hukumnya. “Jika aturannya belum tersedia, maka bisa saja kita gunakan diskresi, asalkan tetap dalam koridor hukum dan tidak merugikan masyarakat,” jelasnya.
Dari sisi pelaku teknis, Direktur Jasa Niaga RPH, Megawati, mengungkapkan keresahan terhadap lemahnya kontrol lalu lintas ternak yang masuk ke Surabaya. Ia berharap regulasi baru ini bisa memperjelas pihak yang bertanggung jawab atas pengawasan dari hulu ke hilir, terutama soal pemotongan hingga distribusi daging di pasar. “Kami butuh kejelasan. Jangan sampai RPH disalahkan karena kekosongan regulasi,” ujarnya.
Menutup rapat, Ketua Pansus Johari Mustawan menyuarakan pentingnya penguatan layanan kesehatan hewan di Surabaya. Ia bahkan membuka peluang pengembangan fasilitas di KBS menjadi rumah sakit hewan. “Kesehatan hewan berbanding lurus dengan kesehatan manusia. Hewan yang sehat menciptakan pangan yang aman dan masyarakat yang lebih sejahtera,” katanya. (*)