Oleh:
(Ketua Dewan Pendidikan Magetan Periode 2024-2029)
Beberapa waktu lalu, Penulis diundang Dinas Pendidikan Jawa Timur untuk mengikuti acara Refleksi Pendidikan dengan Tema “Menuju Pendidikan Bermutu untuk Semua”. Di acara refleksi ini, semua stakeholders pendidikan di Jawa Timur diundang, mulai dari Kepala Dinas Pendidikan Se-Jawa Timur, Kepala Sekolah SMA/SMK baik Negeri dan Swasta, Koordinator Pengawas, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur di seluruh Wilayah Jawa Timur, Ketua Dewan Pendidikan Se-Jawa Timur dan pakar-pakar pendidikan.
Dalam acara refleksi tersebut, salah satu pembahasan yang menjadi pusat perhatian adalah tentang berbagai macam Permasalahan Pendidikan di Jawa Timur. Setidaknya terdapat 6 (enam) permasalahan, yaitu: Pertama, Disparitas Kualitas (Antar Daerah dan Antar Lembaga. Kedua, Sarana dan Prasarana (Ketersediaan, Kesesuaian, Pemanfaatan). Ketiga, Relevansi (Kesesuaian dengan Kebutuhan Industri Dunia Kerja/Usaha dan Perguruan Tinggi. Keempat, Guru dan Tenaga Kependidikan (Kuantitas, Kualitas, Spesifikasi Kompetensi dan Sebaran. Kelima, Sinergi (Pemerintah, Masyarakat dan Swasta). Dan keenam, Kapasitas Fiskal Sekolah (Kemampuan anggaran setiap sekolah yang masih bergantung pada jumlah siswa (BOS, BPOPP, Komite Sekolah).
Dalam tulisan kali ini, Penulis akan lebih fokus pada permasalahan sinergi dan kapasitas fiskal sekolah. Setidaknya 2 (dua) permasalahan ini masih “menghantui” dunia pendidikan di Magetan.
Seperti yang sudah kita pahami bersama, bahwa persoalan dan kemajuan pendidikan tidak lepas dari sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan swasta. Setidaknya pemerintah memiliki 6 (enam) peran penting dalam menjaga kualitas pendidikan yaitu: penyusunan dan implementasi kebijakan pendidikan, pengalokasian anggaran pendidikan, peningkatan kualitas guru dan tenaga kependidikan, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur pendidikan, pemerataan akses pendidikan, monitoring dan evaluasi pendidikan.
Sedangkan peran masyarakat dalam menjaga kualitas pendidikan setidaknya terdapat 6 (enam) hal yaitu: partisipasi dalam pengelolaan sekolah, mendukung pendidikan di rumah, kemitraan dengan lembaga pendidikan, advokasi pendidikan, dukungan moral dan psikologis, dan pemberdayaan komunitas belajar.
Realitas yang ada, bahwa persoalan mulai muncul tatkala sinergi masyarakat dalam hal ini Komite Sekolah untuk mendukung kapasitas fiskal sekolah sebagai bentuk partisipasi dalam pengelolaan sekolah, dimaknai negatif sebagai upaya untuk menarik “pungutan liar”. Padahal esensinya semua pihak terutama Sekolah dan Komite Sekolah tidak ada keinginan atau niatan untuk melakukan “pungutan liar”
Seperti yang sudah kita pahami bahwa perhatian pemerintah baik pusat, provinsi, kabupaten/kota terhadap kemajuan pendidikan khususnya dalam hal anggaran pendidikan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Bahwa pemerintah pusat yang telah menggelontorkan anggaran pendidikan melalui BOS (Bantuan Operasional Sekolah) di semua sekolah patut kita apresiasi bersama.
Namun harus dipahami bahwa BOS adalah bantuan anggaran yang “standar” dalam pengelolaan dan penggunaannya. Masalah muncul ketika suatu sekolah ingin lebih memberikan layanan pendidikan dan meningkatkan mutu serta prestasi peserta didiknya baik di bidang akademik dan non-akademik.
Masalah di atas bisa terselesaikan dengan baik ketika peran Komite Sekolah bisa maksimal dijalankan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 yang mengatur tentang Komite Sekolah. Komite Sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua, tokoh masyarakat, dan pakar pendidikan yang dipilih secara demokratis.
Komite Sekolah memiliki tugas dan fungsi, diantaranya: (a) Meningkatkan mutu pelayanan pendidikan, (b) Memberikan masukan kebijakan sekolah, (c) Menggalang dana dari masyarakat, (d) Melakukan pengawasan pada tingkat satuan pendidikan, (e) Menjadi perwakilan dari orangtua murid lainnya, dan (f) Berfungsi sebagai jembatan kepada guru-guru.