Metode Pembelajaran Bahasa Arab Terintegrasi Antarkan M Naser Doktor Honoris Causa

Metode Pembelajaran Bahasa Arab Terintegrasi Antarkan M Naser Doktor Honoris Causa
Mohammad Naser (kanan depan)

SURABAYA (Wartatransparansi.com) – “Metode Pembelajaran Bahasa Arab Terintegrasi”, mengantarkan Mohammad Naser, meraih gelar kehormatan Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Penganugerahan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa (HC) berlangsung di Sport Centre & Multipurpose Building KH Syaifuddin Zuhri, Jl A Yani 117 UINSA Surabaya, Rabu (25/9/2024).

Penganugerahan gelar Doktor HC, Drs KH Mohammad Naser Dip Tal bersama dengan Wakil Ketua PBNU, KH Zulfa Mustofa.

Mohammad Naser dalam orasi ilmiah menegaskan bahwa selama ini fokus mengembangkan, metode dengan fokus, “Mengintegrasikan Berbagai Aliran dalam Pembelajaran Bahasa Arab di Madrasatulalsun Sebagai Model”.

H Mohammad Naser menegaskan bahwa upaya Madrasatulalsun dalam merancang metode pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa kedua, membuat laboratorium bahasa untuk melakukan eksperimen dan meramu model pembelajaran yang inovatif, kreatif dan efektif dalam pengajaran bahasa Arab sebagai bahasa kedua di kabupaten Sidoarjo.

Menurut Ustad Naser, walaupun pada umumnya, orang berasumsi bahwa bagi seorang peminat belajar bahasa Arab — baik sebagai bahasa komunikasi harian atau sebagai bahasa keilmuan–−, tidak ada tempat yang lebih baik sebagai tempat belajar bahasa tersebut, kecuali di pondok pesantren atau peminat tersebut harus mondok, serta harus menetap di asrama.

“Asumsi tersebut tidak mengherankan karena pada kenyataannya banyak para cendekiawan, ulama atau kiai hampir semuanya adalah alumni pondok pesantren dengan segala modelnya,” katanya.

Hal itu dapat dimaklumi karena pendidikan dalam pondok pesantren memang mempunyai banyak unsur atau komponen penunjang yang dapat dan sukses mengantarkan para santri untuk meraih kesuksesan, antara lain; adanya kurikulum yang terukur, instruktur yang terlatih, lingkungan bahasa yang tersedia secara alami, ada kewajiban pembelajar untuk mempraktekannya di luar lingkungan kelas yang bila mereka tidak melakukannya, maka ada konsekwensi hukuman yang menanti. Walhasil, dalam pondok pesantren, kita mendapati adanya linguistic exposure atau durasi belajar yang berlimpah.

Hanya saja, menurut H Mohammad Naser, yang memperdalam ilmu pembelajaran bahasa Arab, tidak semua anggota masyarakat mampu mendapatkan kesempatan untuk memasuki dunia pendidikan ala pesantren, karena untuk bisa menjadi santri dalam pondok pesantren, membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan murah; baik biaya pendidikan, biaya makan, biaya asrama dan lain-lain. “Apalagi fenomena di era sekarang ini untuk masuk pada pendidikan pondok pesantren harus menyediakan biaya yang tidak sedikit,” tandasnya.

Oleh karena itu, menurunkan Ustad Naser, Madrasatulalsun yang didirikan pada tahun 1989, dan praktis memulai pengajaran perdananya pada tanggal 3 Maret tahun tersebut telah membuka pembelajaran bahasa Arab model kursus sebagai lembaga pendidikan alternatif bagi santri yang ingin belajar bahasa Arab dalam lingkungan kelas, tentu dengan segala kekurangannya, tidak seperti pembelajaran bahasa Arab di pondok pesantren yang terfasilitasi dengan sarana sarana penunjangnya yang telah kami sebutkan di atas.

Bahkan, lanjut Ustad (panggilan akrab H Mohammad Naser),
Madrasatulalsun menyadari adanya kekurangan-kekurangan yang ada dalam institusinya. Maka dengan tekat dan niat yang tulus serta motivasi yang selalu terjaga konstan serta dengan izin Allah. Bertekat untuk menutupi dan mengubah kekurangan- kekurangan tersebut sehingga menjadi kelebihan atau keistemewaannya.

“Pertama, yang paling penting untuk dibenahi kekurangannya adalah bidang kurikulum. Madrasatulalsun telah mendesain kurikulumnya didasarkan atas kebutuhan siswa (need analysis atau hajat al—thullab) baik dalam ranah motorik, emotif dan kognitifnya. Kurikulum juga disusun berjenjang berdasarkan kemampuan kognitif siswa yaitu dengan rumus yaitu tesis input dari Stephan Krasen dan Tracy Terrel yaitu i + I (i huruf konsonan kecil adalah materi yang tersimpan dalam diri siswa. Sedangkan huruf I kapital adalah materi yang dapat diserap oleh siswa),” tegas Ustad.

Sebab, lanjut Ustad, materi input yang berada sedikit di atas kemampuan siswa, karena kalau materi input tersebut berada jauh di atas kemampuan pembelajarnya, maka materi tersebut akan menjadi materi yang sulit untuk diserap akibatnya tidak dapat menjadi input.

Selanjutnya, kurikulum tersebut harus didasarkan pada kadar ketersebarannya, yang dalam literatur pembelajaran bahasa disebut dengan istilah syuyu(ring penyebarannya), baik aspek kosa kata (mufrodat syaiah) maupun aspek fungsi fungsi komunikatif. Dari kosa kata tersebut serta aspek strukturnya (tarokib syai`ah). Wal hasil, materi yang menjadi asupan para pembelajar bahasa Arab ini harus tersusun secara gradual, step demi step, dimulai dari yang mudah menuju kepada yang lebih sulit, dari yang paling dibutuhkan mengarah ke yang kurang dibutuhkan, dimulai dari yang paling mendesak menuju kepada yang agak longgar.

“Demikianlah langkah menurut H. Palmer yang dikenal sebagai pelopor metode pembelajaran mauqifiyyah (situasional).
Adapun dalam hal yang berhubungan dengan para instruktur, Madrasatulalsun sementara belum bisa menerima instruktur dari luar lingkaran Madrasatulalsun itu sendiri, karena mereka yang pernah belajar di Madrasatulalsun dan pernah mengikuti alur atau arah pembelajaran didalamnya, mereka telah terbekali dengan langkah-langkah dan alur pembelajaran serta strateginya,” tutur Ustad Naser.

Ditegaskan, pengalaman ini hanyalah dimiliki oleh para alumni itu sendiri, sehingga Madrasatulalsun tidak lagi berpayah-payah untuk mengarahkan dan membimbingnya.
Lingkungan belajar bahasa atau lingkungan pemerolehan bahasa yang dibangun Madrasatulalsun adalah lingkungan kelas, karena Madrasatulalsun tidak mempunyai lingkungan lain kecuali hanya kelas.

Namun, keberadaan lingkungan bahasa sangatlah penting. “Keberadaan bahasa dan lingkunganya ini ibarat tanaman dan tanahnya. Tanaman tidak akan hidup tanpa adanya tanah sekalipun di era modern ini tanah ini bisa diganti dengan lainnya seperti tanaman hydroponik tapi tetap saja butuh lingkungan sekalipun dalam bentuk yang lain yaitu air dan bahan lainnya,” tandasnya.

Oleh karena itu, pada Madrasatulalsun hanya tersedia lingkungan kelas alias lingkungan buatan (artificial non natural). Bahkan, Madrasatulalsun tertantang untuk mengubahnya agar menjadi lingkungan yang natural dan subur.

“Madrasatulalsun berfikir bagaimana lingkungan kelas −yang dalam literatur disebut sebagai lingkungan buatan al-biah al- isthinaiyyah atau lingkungan artificial− harus diubah menjadi lingkungan yang natural. Dalam Lingkungan kelas, biasanya berlangsung proses pembelajaran learning, yaitu pembelajaran berlangsung bertujuan mempelajari hal ihwal atau tentang bahasa dan pembelajaran berjalan sadar dan melibatkan kognitif,” tutur Ustad Naser.

Kalau hal ini berlangsung dominan, maka siswa tidak akan mendapatkan pembiasaan atau memperoleh skill berbahasa atau yang disebut dalam literatur sebagai pemerolehan (acquasition atau al- iktisab).

Menurut para ahli bahasa, aspek pemerolehan inilah yang menjadi seorang pembelajar lancar dalam berbahasa dan sebaliknya aspek belajar akan menjadi kendala halangan kelancaran berbahasa. Oleh karena itu, Madrasatulalsun menekankan pemerolehan dari pada pembelajaran.

Secara garis besar, Madrasatulalsun telah mengatur strategi pembelajarannya yaitu mendahulukan pemerolehan dari pada pembelajaran dengan skala 90% untuk pemerolehan dan 10% untuk pembelajaran. (*)