Masyarakat perlu menyadari bahwa menyalurkan suara dalam pemilu haruslah dapat dipertanggungjawabkan kepada dirinya sendiri, masyarakat, negaranya dan Tuhan Yang Maha Esa sebagai zat yang memberikan kehidupan. Sehingga berdemokrasi itu bukan dengan kekuatan naluri, kekuatan otot, atau kekuatan massa semata-mata. Pelaksanaan demokrasi itu justru lebih menuntut kecerdasan rohaniah, kecerdasan aqliyah, kecerdasan rasional, dan kecerdasan emosional. Puncaknya menyadari bahwa rakyatlah yang memiliki/memegang kedaulatan itu.
Dalam batas-batas tertentu kedaulatan rakyat itu dipercayakan kepada wakil-wakil rakyat di MPR (DPR/DPD) dan DPRD.
Di sisi lain kekuasaan negara RI:
(1) harus mengandung, melindungi, serta mengembangkan kebenaran hukum (legal truth) bukan demokrasi yang manipulatif.
(2) memberikan keadilan hukum (legal justice) bukan demokrasi yang terbatas pada keadilan formal belaka.
(3) menjamin kepastian hukum (legal security) bukan demokrasi yang membiarkan kesemrawutan atau anarki.
(4) mengembangkan manfaat atau kepentingan hukum (legal interest), seperti kedamaian dan pembangunan, bukan demokrasi yang justru memopulerkan fitnah dan hujatan atau menciptakan perpecahan, permusuhan, dan kerusakan.
Semoga Pilpres 2024 merupakan momen demokrasi yang mengakui hak asasi manusia. Bukan saja menghormati hak-hak asasi tersebut, melainkan terlebih-lebih untuk meningkatkan martabat dan derajat manusia seutuhnya. Masyarakat cerdas, Indonesia hebat. (*)
*) Penulis adalah Akademisi ITB Widya Gama Lumajang dan Anggota APHTN-HAN Jawa Timur