Puncak Porprov seperti 23 Tahun Silam di SGDS, Sirna karena Bau Anyir

Puncak Porprov seperti 23 Tahun Silam di SGDS, Sirna karena Bau Anyir

Padahal, drama kedua babak final Kab Sidoarjo versus Kab Kediri, juga berlangsung sangat piawai. Kedua tim menyuguhkan permainan pemain amatir, tetapi rasa profesional. Dengan gol-gol sangat dapat dinikmati. Sehingga hasil 2-1 (1-0) untuk tuan rumah Sidoarjo, menyejukkan seluruh penoton dan tim.

Tetapi, lagi-lagi potensi pemain tim semifinal dari Sidoarjo, Kab Mojokerto, Kab Kediri, dan Kota Kediri untuk dipertaruhkan di ajang Pra PON, juga sirna. Karena bau anyir kebijakan politik keuangan KONI Jatim, tidak mampu membiayai cabor sepakbola dengan anggaran sama seperti PON Papua. Inilah kenyataan pahit bahwa “kebijakan politik anggaran untuk KONI” sebagai wadah tunggal seluruh olahraga amatir, berbuntut pada pemain dan atlet yang cabornya tidak mungkin menutup kekurangan anggaran atau dana, jauh lebih besar dari anggaran dari KONI sebagai kepepanjangan tangan Pemerintan Provinsi Jawa Timur.

Gegap gempita penonton, gerakan menyalakan lampu handphone, menyalahkan kembang api warna merah seusai pertandingan, dan kibaran bendera suporter seperti layaknya kompetisi sepakbola profesional di Eropa dan belahan dunia lain. Mengalahkan gebyar PON XV-2000, pupus dan sirna sudah. Bahkan rasanya kurang sedap membangga-banggakan sebagai aset Jawa Timur karena lagi-lagi sejarah akan menulis sepakbola Jawa Timur absen di perhelatan Pra PON. Sungguh naif. Tapi apa boleh buat Puncak Porprov dibayar dengan “Degdarasi Sepakbola Pra PON” karena kebijakan tanpa dasar. Padahal (maaf), para pejabat dan wakil rakyat itu bukan mengelola uangnya sendiri, tetapi yang rakyat yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat.

Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor setelah upacara penyerahan medali disertai boneka Porprov mengaku bangga Sidoarjo mengawinkan emas cabor sepakbola “memenangkan dan mengawinkan medali emas sepakbola, lebih menyenangkan walaupun di cabor lain kurang berhasil,” katanya.

Ahmad Riyadh UB PhD Ketua Asprov PSSI Jatim, menyayangkan respon Gubernur dan Wakil Rakyat yang membiarkan cabor sepakbola “merana” karena dana. Padahal pemain pemain selama Porprov terpantau punya potensi besar mencapai prestasi nasional dan internasional. Apalagi untuk Pra PON dan PON 2024
Aceh – Sumut.

Drama di luar lapangan dan di Gedung KONI Jatim, karena imbas dari kebijakan Gedung Grahadi dan Gedung DPRD Jatim, karena “membiarkan sepakbola merana karena dana”. Maka tidak berlebihan menyebut bahwa “Puncak Porprov seperti 23 Tahun Silam di SGDS, Sirna karena Bau Anyir, akibat kebijakan anggaran KONI berbau politik kekuasaan. (*)