Dalam konteks Pileg tentu saja kader akan berjuang memprioritaskan kepentingan pencalegannya baru kemudian pilpres. Dan itu juga tergantung tipikal pemilihnya apakah pemilih anut grubyuk ataukah pemilih rational choise.
Sebaliknya dalam konteks dukungan pilpres biasanya pertimbangan lebih simple daripada pileg yang cenderung kompleks dan rumit.
Ia menjelaskan, dalam pemilu langsung dimana voters berdaulat penuh. Tidak ada jaminan koalisi dengan anggota partai banyak atau koalisi gemuk otomatis akan menang mudah karena penentu suara bukan lagi partai tapi voters langsung. Jadi tidak ada jaminan. Pertimbangan memilih dalam pilpres selalu lebih simple karena memilih sedikit calon.
Harus diakui satu sisi dukungan ini bisa menjepit pak Jokowi jika dilihat dari fatsun ke PDIP, tapi sisi lain bisa jadi pak Jokowi ingin all president men hehehe tergantung dari sisi mana melihatnya.
“Menurut saya strategi Golkar ini tetap menjadi manuver zig zag yang beresiko,”tegasnya
Lalu siapa yang diuntungkan dari bergabungnya Golkar ke KIR, Surokim mengatakan, tentu saja siapa yang paling dominan di koalisi itu akan dapat cottail effect.
Dalam hal ini adalah Gerindra dan tentu secara gradatif antar partai tidak sama. Cara paling mudah untuk melihat adalah dengan mengecek suara arus bawah Golkar gabnya kecil kecil antara kehendak DPP dan suara arus bawah, maka itu akan kian baik untuk Golkar, demikian juga sebaliknya.
Jika dilihat dari faktor sejarah memang pak Prabowo punya sejarah panjang di Golkar dan itu bisa menjadi penguat. Tapi namanya pilihan politik elit selalu saja potensial menjadi game coba coba, katanya mengakhiri. (*)