SURABAYA (Wartatransparansi.com) – Pengamat Politik dari Universitas Trunojoyo Madura Dr. Surokim Abdusslam menilai dukungan Golkar ke Prabowo Subianto bagian dari strategi penguatan akan jaminan akomodasi kepentingan kekuasaan. Koalisi KIR (Koalisi Indonesia Raya) dianggap lebih responsif.
“Tentu saja dukungan ini bisa menguatkan KIR dan akan punya banyak konsekuensi,” ungkap peneliti senior dari SSC (Surabaya Survei Center) kepada wartatransparansi.com, Rabu (16/8/2023).
Tapi elit partai, kata Surokim, kadang tidak berpikir linier dengan kecenderungan pemilihnya dan mereka lebih memilih kenyamanan dan bagaimana kepentingan politik terakomodasi dalam membangun koalisi.
Bahkan dalam tahap tertentu elit partai kadang tidak berpikir terkait kecenderungan pemilih arus bawahnya kemana. Kadang hal itu bs saja diabaikan.
Selama ini yang lebih banyak dijadikan dasar dalam membangun koalisi ya kenyamanan dan akomodasi kepentingan politik semata. Koalisi indonesia raya bisa jadi dianggap akomodatif dan responsif terhadap kepentingan Golkar dan PAN.
Menjawab pertanyaan soal pilihan partai dan pilihan presiden, Surokim mengatakan, ya memang tidak akan ada dukungan yang bisa bulat terkait pilihan partai dan pilihan presiden. Ini selalu saja bisa terbelah dan bahkan bisa berbeda antara pilihan grassroot partai dengan pilihan koalisi.
Jadi selalu ada gab. Idealnya memang kecenderungan pemilih partai itu diperhitungkan dan dijadikan sebagai dasar pertimbangan. Namun faktanya tidak selalu begitu.
Dan itu selalu menjadi tantangan untuk soliditas dukungan dalam koalisi.
“Saya pikir tidak sesederhana itu terkait soliditas anggota koalisi. Betapapun ada penyimpangan dalam pilihan partai dan pilpres, biasanya partai selalu punya pemilih loyal yang akan patuh pada keputusan partai kendati jumlahnya kadang tidak signifikan, jelas Surokim
Dalam konteks Pileg tentu saja kader akan berjuang memprioritaskan kepentingan pencalegannya baru kemudian pilpres. Dan itu juga tergantung tipikal pemilihnya apakah pemilih anut grubyuk ataukah pemilih rational choise.
Sebaliknya dalam konteks dukungan pilpres biasanya pertimbangan lebih simple daripada pileg yang cenderung kompleks dan rumit.
Ia menjelaskan, dalam pemilu langsung dimana voters berdaulat penuh. Tidak ada jaminan koalisi dengan anggota partai banyak atau koalisi gemuk otomatis akan menang mudah karena penentu suara bukan lagi partai tapi voters langsung. Jadi tidak ada jaminan. Pertimbangan memilih dalam pilpres selalu lebih simple karena memilih sedikit calon.
Harus diakui satu sisi dukungan ini bisa menjepit pak Jokowi jika dilihat dari fatsun ke PDIP, tapi sisi lain bisa jadi pak Jokowi ingin all president men hehehe tergantung dari sisi mana melihatnya.
“Menurut saya strategi Golkar ini tetap menjadi manuver zig zag yang beresiko,”tegasnya
Lalu siapa yang diuntungkan dari bergabungnya Golkar ke KIR, Surokim mengatakan, tentu saja siapa yang paling dominan di koalisi itu akan dapat cottail effect.
Dalam hal ini adalah Gerindra dan tentu secara gradatif antar partai tidak sama. Cara paling mudah untuk melihat adalah dengan mengecek suara arus bawah Golkar gabnya kecil kecil antara kehendak DPP dan suara arus bawah, maka itu akan kian baik untuk Golkar, demikian juga sebaliknya.
Jika dilihat dari faktor sejarah memang pak Prabowo punya sejarah panjang di Golkar dan itu bisa menjadi penguat. Tapi namanya pilihan politik elit selalu saja potensial menjadi game coba coba, katanya mengakhiri. (*)