MADIUN (Wartatransparansi.com) – Puluhan warga – mulai usia Balita hingga dewasa – yang bermukim di Desa Bantengan, Kecamatan Wungu, Madiun, Jawa Timur, sejak kisaran setahun terakhir merasakan ketaknyamanan hidup. Para warga terserang dampak berbagai jenis polusi, yang ditimbulkan industri pengolahan (umbi) porang di lokasi tersebut.
Suasana pilu dan keluh kesah itu disampaikan sejumlah warga terdampak, kepada jurnalis yang menemui di perkampungannya, Senin (17/7/2023). Mereka mengaku, secara kesehatan merasa tidak nyaman lantaran gangguan beberapa jenis polusi yang bersumber dari beroperasinya pabrik porang.
Dua ibu rumah tangga terdampak polusi, Ibu Yuni dan Ibu Ali, mengatakan kepada jurnalis, sedikitnya terdapat 4 jenis polusi yang ditimbulkan pabrik porang hingga mengganggu kenyamanan warga pemukiman setempat.
Dampak yang mengganggu warga tersebut antara lain berupa tebaran debu lembut berwarna hitam (mirip jelaga), bau menyengat tak sedap, suara bising mesin pabrik dan limbah cair.
Dijelaskan Ibu Yuni – yang rumahnya cuma berjarak 5 meter dari pabrik porang -, tebaran debu hitam akan terasa gatal-gatal jika mengenai kulit. Kecuali itu, tebaran debu juga mengotori rumah, lantai, bermacam perabotan rumah tangga serta mengotori pakaian yang dijemur.
“Debunya kalau kena kulit terasa gatal-gatal, Mas. Juga semua perabotan rumah tangga termasuk lantai rumah selalu kotor. Belum lagi, suara bising yang keras mesin pabrik membuat warga sulit beristirahat,” jelas Ibu Yuni yang tinggal di Perumahan Puri Matahari itu.
Sementara Ibu Ali menimpali, aktivitas pabrik porang itu juga menimbulkan polusi bau. Menurutnya, setiap saat dia dan keluarganya serta warga setempat menghirup bau menyengat, persis seperti kabel terbakar.
“Baunya gak enak. Sesek di dada. Seperti kabel terbakar gitu. Apalagi saya kan punya anak Balita. Lalu bagaimana ini tumbuh kembang anak saya, kalau kesehatannya terganggu seperti ini,” keluh Ibu Ali.
Ibu Ali melanjutkan, rentang waktu berdirinya perumahan warga jauh lebih dulu, ketimbang munculnya pabrik porang tersebut. Ibu Ali mengaku tinggal di perumahan itu sejak sebelum adanya pabrik porang, yakni Tahun 2015.
“Jadi saya tinggal disitu belum ada pabrik. Lalu Tahun 2019 berdiri pabrik porang, namun hanya aktivitas penjemuran (pengeringan) porang saja, sehingga tidak berpolusi. Baru Tahun 2022 pabrik itu beroperasi penuh, hingga menimbulkan berbagai polusi seperti ini,” cetus Ibu Ali.
Perlu diketahui, di sekitar industri pengolahan porang yang berbadan hukum Penanaman Modal Asing (PMA) milik warga negara China itu, terdapat pemukiman warga yang lokasinya sangat dekat, antara 5 sampai 20 meter.
Dua areal perumahan yang terdampak polusi pabrik porang masing-masing, Perumahan Puri Matahari dan Puri Bhayangkara. Di areal tersebut dihuni sedikitnya 25 KK, atau tak kurang 55 jiwa termasuk Balita.
Terkait persoalan tersebut, pihak pemerintah desa setempat berinisiatif melakukan rembug bersama, melibatkan semua pihak yang terkait guna mencari solusi.
Rembug bersama berlangsung di Pendopo Desa Bantengan, Senin (17/7/2023), dihadiri puluhan warga terdampak, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Madiun, Anang Sulistijono, lawyer selaku kuasa hukum industri porang, Adi Dewantoro, Kepala Desa Bantengan, Hartanto, Bhabinsa, Bhabinkamtipmas serta sejumlah jurnalis.
Usai acara rembug, Kepala DLH, Anang Sulistijono, kepada jurnalis mengaku pihaknya belum mengetahui detilnya, lantaran dia belum lama menjabat sebagai Kepala DLH. Terlebih, katanya, badan hukum industri porang tersebut bentuknya PMA, sehingga yang kompeten menangani adalah pusat (Jakarta).
“Berbicara PMA itu menjadi kewenangan pusat (Jakarta). Penjelasannya seperti apa, saya tidak berani menyatakan karena bukan wewenang saya. Terlebih saya kan baru menjabat. Jadi akan saya cek dulu. Yang penting, prioritas kita, kita mencarikan solusi bagi warga yang terdampak. Itu dulu yang utama,” jelas Anang Sulistijono.
Sementara kuasa hukum pabrik pengolahan porang, Adi Dewantoro, secara terpisah menjelaskan, pihaknya hanya diberi kewenangan sebatas menampung berbagai keluhan warga yang merasa terdampak atas aktivitas pabrik.
Pihaknya, jelas Adi, segera berbicara dengan manajemen pabrik untuk membicarakan hal yang terkait dengan regulasi. Pihak pabrik, menurut Adi, berusaha memenuhi apa yang menjadi ketentuan perundang-undangan dalam menjalankan kegiatan pabrik.
“Iya, pabrik itu milik warga negara China. Melalui kajian konsultan lingkungan hidup, secara teknis, dimungkinkan pabrik akan tutup sementara,” tutur Adi.
Ditambahkannya, menurut perundang-undangan kegiatan pabrik memang harus melakukan _trial operational_ (uji coba operasional) selama dua tahun. Itu termasuk guna mencoba permesinan, maupun meninjau bagaimana dampak-dampaknya. (*)
Usai pertemuan, semua pihak meninjau ke lokasi pabrik untuk mengetahui dan memastikan langkah tepat yang akan ditempuh selanjutnya. (*)