Opini  

Ternyata Pejabat Pusat Belum Mewarisi Jiwa Pelaut

Ternyata Pejabat Pusat Belum Mewarisi Jiwa Pelaut
HS. Makin Rahmat

Oleh: HS. Makin Rahmat – Direktur LBH Maritim

Kegelisahan yang terjadi seputar carut-marut perizinan dan pengelolaan laut 0-12 Mil, mendorong institusi Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) ingin mengupas tuntas terhadap kebijakan pemerintah pusat masih setengah hati melepas tanggung jawab total ke provinsi.

Akhirnya, atas inisiasi Kepala DPK Jatim Dr. H. Muhammad Isa Anshori, mengajak seluruh kepala DKP se Indonesia melakukan rapat koordinasi (Rakor) untuk menyamakan visi, misi dan platform memanfaatkan sumber data kelautan beserta mitra, diantaranya forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan, LBH Maritim, pengusaha, Syahbandar dan satpolair.

Tentu dalam pertemuan Rakor di Surabaya bertempat di salah satu hotel berbintang lima tersebut juga mengundang narasumber yang kompeten. Kadis KP Jatim Isa Anshori juga moderator dalam Rakor pertama melibatkan 23 DKP provinsi berharap ada sinergi networking aturan dan pengejawantahan praktek di lapangan.

Sebelum Rakor menjadi kajian akademis, politis, dan memberikan kepastian hukum, muncul pertanyaan, sandaran Undang-Undang (UU) nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Kelautan) mampu menjadi landasan pengaturan untuk mendukung pembangunan kelautan secara optimal dan terpadu serta memberikan kemanfaatan bagi hajat hidup rakyat, bukan segelintir orang? Tentu waktu dan kepekaan pejabat pusat yang akan membuktikan.

Dalam Rakor hari Jum’at (16/6/2023) tersebut menghadirkan narasumber Prof. Daniel M Rosyid PhD dan Prof. Widi A Pratikto dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Sedangkan dua narasumber lainnya Prof. Aan Eko Widiarto dan Dr. Abu Bakar Sambah dari Universitas Brawijaya (UB), Malang.

Sepintas dari paparan narasumber dan pertanyaan peserta Rakor terungkap, masih ada disharmoni dalam UU yang mengatur pengelolaan laut dan pesisir. Hal ini diutarakan guru besar Hukum Pemerintahan Daerah dan Ilmu Perundangan-undangan, Fakultas Hukum UB, Aan Eko Widiarto.

Intinya, dari produk hukum yang berlaku masih banyak aturan yang bertabrakan antara pemerintah pusat dengan provinsi. Ada disharmoni dalam beberapa pasal di UU No 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UU. Semestinya, pemerintah daerah yang punya wewenang mengatur masalah kelautan adalah provinsi. Namun, di UU Cipta Kerja tidak menghapus atau mengubah UU Pemerintahan Daerah terkait kewenangan provinsi di laut. Provinsi masih memiliki wewenang sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah dan wewenang yang diatur dalam UU Cipta Kerja.

Melihat alur dan kewenangan, UU Cipta Kerja yang merangkum beberapa UU adalah bersifat lex generalis (aturan khusus yang bermakna general atau umum). Sedangkan UU Pemerintahan Daerah adalah lex specialis (khusus mengatur Pemda dengan segala tanggung jawab hukum). Semestinya UU Pemda bisa mengesampingkan UU Cipta Kerja.

Untuk kepastian hukum, Aan Eko usul perlu diajukan yudicial review (pengujian) terhadap UU Cipta Kerja terhadap materi yang bertentangan dengan UUD ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pandangan lebih tegas disampaikan pakar kelautan ITS Daniel A Rosyid, yaitu harus ada semacam lokalisasi aturan. Karena aturan tunggal yang sentralistik pasti akan gagal dan berpotensi menimbulkan kegaduhan.

UU No 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja bertendensi sentralistik. UU ini cenderung melakukan liberalisasi pengelolaan tata ruang laut.

Mantan Dirjen Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, Widi A Pratikto menyoroti penataan ruang pesisir dan laut. Menurutnya, perlu prinsip-prinsip pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu. Dia juga menyoroti sampah laut atau marine debrise yang kian hari menjadi ancaman. Dampaknya pada ekonomi, pariwisata, kerusakan habitat, kerusakan kapal dan navigasi, serta kehidupan lingkungan maritim secara keseluruhan.