Kehadiran UU TPKS haruslah berfungsi meningkatkan kualitas perempuan dan anak, serta mampu menurunkan prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Mengapa? karena korban kekerasan seksual tidak hanya perempuan usia 15 tahun saja bahkan anak-anak. Kian marak korban kekerasan seksual terjadi diberbagai tempat: lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat, bahkan oleh keluarganya sendiri.
Femmy menyatakan, “Kekerasan terhadap perempuan dan anak itu layaknya fenomena gunung es. Dimana kasus kekerasan yang sebenarnya terjadi lebih tinggi daripada yang sudah terlaporkan, saya harap stop kekerasan seksual pada perempuan dan anak, karena kondisi kekerasan pada perempuan dan anak saat ini sudah pada kondisi darurat”.
Keberadaan HAM telah diatur dalam konstitusi kita. HAM terdapat dalam BAB XA UUD Negara RI Tahun 1945. Terinci dalam 22 (dua puluh dua) jenis HAM, termasuk di dalamnya ‘Setiap orang berhak bebas dari perlakukan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu (Pasal 28I:2).
Itulah sumber hukum emansipasi dan kesetaraan gender yang telah diinisiasi oleh Kartini sekitar 128 (seratus dua puluh delapan) tahun silam.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) mengklasifikasikan beberapa jenis HAM. Antara lain yaitu: (1)Hak atas kebebasan pribadi, (2)Hak atas rasa aman, (3)Hak atas kesejahteraan, (4)Hak turut serta dalam pemerintahan, (5)Hak wanita (hak yang diperoleh wanita sesuai HAM), dan (6) Hak anak (hak yang diperoleh anak sesuai HAM).
Jelas dalam hal ini hak wanita dan anak telah dijamin eksistensinya oleh negara.
Indonesia telah menancapkan tonggak penting dalam sejarah bangsa. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964 memberikan legalitas yaitu: (1) menetapkan bahwa Kartini adalah Pahlawan Kemerdekaan Nasional, dan (2) menetapkan bahwa 21 April merupakan Hari Kartini. Nilai peringatan yang harus kita ambil adalah jasa-jasa RA Kartini yang merupakan tokoh emansipasi perempuan di Indonesia harus dapat diteruskan oleh generasi sekarang. Bukan semata ‘nilai kebebasannya’ untuk menyamakan hak saja namun jauh lebih penting adalah kesadarannya atas moral force untuk memperoleh pendidikan.
Disatu sisi tuntutan generasi perempuan sekarang untuk melek digital namun harus tetap bijak dan bertanggung jawab.
Kartini menulis, “Anakku, laki-laki maupun perempuan, akan aku ajar, supaya menghargai dan pandang-memandang sama rata, makhluk yang sama dan didikannya akan kusamakan benar, yakni tentu saja masing-masing menurut kodrat kecakapannya”. Jika kita mencermati tulisan diatas bahwa Kartini dalam semangat emansipasinya tetap menyadari akan kodrat. Perempuan memiliki kebebasan untuk memenuhi persamaan haknya.
Namun perempuan juga memiliki keterbatasan karena nilai kodrati dan perempuan harus banggung jawab atas pemenuhan hak dan kewajibannya. Maka dapatlah kita simpulkan bahwa makna emansipasi perempuan adalah sebuah “kebebasan yang terbatas dan bertanggung jawab”. Hal ini tentunya dipedomani budaya luhur bangsa Indonesia, etika ketimuran dan nilai-nilai religius. (*)
*) Penulis adalah Akademisi ITB Widya Gama Lumajang dan Dosen MK. Pancasila dan Kewarganegaraan