“Tsunami Kanjuruhan” (1)

“Tsunami Kanjuruhan” (1)
Ahmad Riyadh, UB, Komisi Wasit PSSI (tengah). (foto/transparansi/dok)

Menjadi anggota Tim Investigasi PSSI dengan Ketua Tim Ahmad Riyadh UB Ph.D, sudah menyatakan bahwa akan menulis berita setelah investigasi sudah hampir selesai dan suasana duka sudah mulai terlupakan.

Peristiwa sangat menghancurkan dunia sepak bola Indonesia, terutama Aremania dan seluruh suporter Garuda Nusantara, lebih tepat menyebutkan sebagai “Tsunami Kanjuruhan”.

Mengapa? Tsunami (serapan dari bahasa Jepang yang arti harfiah: “ombak besar di pelabuhan”) adalah gelombang air besar yang diakibatkan oleh gangguan di dasar laut, seperti gempa bumi. Gangguan ini membentuk gelombang yang menyebar ke segala arah dengan kecepatan gelombang mencapai 600–900 km/jam.

Awalnya gelombang tersebut memiliki amplitudo kecil (umumnya 30–60 cm) sehingga tidak terasa di laut lepas, tetapi amplitudonya membesar saat mendekati pantai. Saat mencapai pantai, tsunami kadang menghantam daratan berupa dinding air raksasa (terutama pada tsunami-tsunami besar), tetapi bentuk yang lebih umum adalah naiknya permukaan air secara tiba-tiba. Kenaikan permukaan air dapat mencapai 15–30 meter, menyebabkan banjir dengan kecepatan arus hingga 90 km/jam, menjangkau beberapa kilometer dari pantai, dan menyebabkan kerusakan dan korban jiwa yang besar.

Dalam Tim Investigasi salah seorang mantan komandan anti huru-hara “Semanggi 1” dan “Semanggi 2” menyebutkan bahwa prosedur menembakkan gas air mata ada tahapan, termasuk di daerah datar dengan kemungkinan tidak membahayakan karena ada pom bensin atau kendaraan yang rawan terbakar.

Tetapi ketika ditembakkan di tribun, maka seperti menembakkan di tempat tungku, asap gas air mata akan menjadi gelombang asap serta tersebar di sekitar tribun. Itulah menyebutkan dalam tulisan ini “Tsunami Kanjuruhan” (Gelombang asap mematikan di Kanjuruhan). Dimana dalam waktu tidak kurang 10 menit suporter yang dalam situasi dan kondisi kecewa karena tim kesayangannya kalah, tetapi tetap bersahaja langsung mendapat serangan gelombang gas air mata. Tsunami … oh tsunami, melumpuhkan dan mamatikan suporter di Stadion Kanjuruhan.

Sekedar diketahui, Tsunami Aceh terjadi tepat pada 16 tahun yang lalu. Tsunami Aceh yang merupakan bencana alam terbesar itu terjadi pada 26 Desember 2004.

Gelombang tsunami menyapu pesisir Aceh pasca gempa dangkal berkekuatan M 9,3 yang terjadi di dasar Samudera Hindia. Gempa yang terjadi, bahkan disebut ahli sebagai gempa terbesar ke-5 yang pernah ada dalam sejarah.

Kejadian itu terjadi pada hari Minggu, hari yang semestinya bisa digunakan oleh masyarakat untuk beristirahat, berkumpul bersama keluarga, dan menikmati libur akhir pekan bersama. Tapi tidak dengan Minggu saat itu, masyarakat justru harus berhadapan dengan alam yang tengah menunjukkan kekuatannya, sungguh kuat.

“Tsunami Kanjuruhan” juga terjadi Sabtu malam (2/10/2022) dan korban berjatuhan Minggu dini hari (2/10/2022), seperti terhipnotis dalam permainan sulap, gelombang tsunami asap gas air mata itu seperti mematikan seantero Stadion Kanjuruhan Malang. Semua terguncang dan dunia gelap, sepak bola terlelap dalam duka mendalam. (*)