KPN Surabaya: Jangan Sampai Ada Tumpang Tindih Kewenangan Antar Institusi

KPN Surabaya: Jangan Sampai Ada Tumpang Tindih Kewenangan Antar Institusi
Rudi Suparmono, Ketua PN Surabaya

” Saya tidak setuju untuk perkara narkoba kok !, di RJ Kejaksaan ? ,” ungkapnya.

Masih menurut Agus Salim, di mata pemakai narkoba dan harga rehabilitasi mandiri cukup mahal mas !.
” Butuh penetapan Pengadilan,” pungkasnya.

Sedangkan, I Wayan Titib Sulaksana asal Unair Surabaya, yaitu, bahwa dirinya, sepakat pengguna narkoba direhabilitasi.

” Kalau hanya pengguna, cukup direhabilitasi dibawah lembaga rehabilitasi korban narkotika dengan pengawasan ekstra ketat dari Pemerintah ,” ucapnya.

Masih menurut I Wayan, penjara di Indonesia over load, karena dipenuhi tahanan pengguna narkotika.

Lebih lanjut, sebagaimana yang didalilkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), PE diduga sebagai penyalahguna narkoba.

Dalam dugaan tidak pidana yang dipersangkakan PE, maka asas-asas hukum diterapkan asas Lex Spesialis Derogat Legi Generali.

Ulasan I Wayan Titib, hanya mengacu pada penyelesaian dengan lex specialis derogat legi generali (the more specifi rule prevails over the less specific) karena lebih relevan dengan norma hukum yang digunakan.

Disinggung terkait, penyelesaian berasas Lex specalis Derogat Legi Generali apakah tidak memangkas kewenangan Hakim.

I Wayan Titib, mengatakan, tidak juga !. Malah untuk mengurangi beban kerja Pengadilan Negeri, kecuali produsen, bandar, kurir narkoba tidak ada RJ.

” Pengguna adalah korban dari produsen narkoba. Karena itu, pengguna cukup di rehabilitasi saja !, dengan pengawasan ketat dari Pemerintah ,” ungkapnya.

Sedangkan, nantinya, pengawasan ketat apa bisa berperan optimal ?.
Itu menjadi tanggung jawab Kejaksaan untuk melakukan pengawasan selama rehabilitasi.

I Wayan Titib, juga menyampaikan, sisi positif dari penerapan RJ yaitu, mengurangi over load di Lapas karena kebanyakan Napi narkoba adalah pengguna. Sisi negatifnya, lemahnya pengawasan ketika direhabilitasi.(nbd)