Kalau pun unggul dalam mengaplikasi peradaban dengan dalil-dalil dan argumentasi yang formal, namun mulai hilang akal sehat dan budi pekerti.
Berbagai-bagai peristiwa yang terjadi belakangan ini, seperti kemerosotan moral, baku tembak polisi dengan tentara, suami tega membunuh istri dan beragam kejahatan yang tidak kalah keji dengan masa jehiliyah.
Dulu, masyarakat karena gengsi rela mengubur anak bayi perempuan hidup-hidup karena demi martabat dan harga diri. Sekarang malah lebih dahsyat, penguasa tega memperbudak rakyatnya sendiri dengan berbagai kepentingan kelanggengan kekuasaan. Saling menyebar berita bohong.Informasi berbau hoks dianggap persaingan intelejin atau siber.
Mengapa para pemimpin kita tidak meniru manusia Agung yang memang dilahirkan untuk memperbaiki akhlak manusia dan meninggalkan wasiat peradaban hukum yang sangat universal, yaitu Al-Quran dan Hadits yang penuh dengan landasan hukum formil dan mengatur peradaban umat lebih mengedepankan akhlakul karimah atau budi pekerti mulia.
Perjuangan panjang baginda Rasulullah di kota Madinah, bukan sekedar berbuah manis hingga menjadikan Madinah kota sehat menurut WHO. Tentu prakarsa dari Nabi Muhammad SAW dalam menerbitkan Piagam Madinah pada 622 Masehi, merupakan produk hukum yang perlu dicontoh bersama.
Semestinya semua stokeholder bangsa berikhtiar demi kebaikan rakyat ke depan, bukan mengamankan posisi atau merebut kekuasaan dengan berlindung di balik produk undang-undang dan aturan hukum yang bisa dipelintir sesuai pesanan dan kebutuhan penguasa atau pemodal.
Bagaimana dokumen hukum diterbitkan untuk melindungi dan mengayomi hajat seluruh masyarakat serta mempersatukan semua komponen bangsa. Isi Piagam Madinah, antara lain menetapkan adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat, perlindungan terhadap harta dan asset rakyat serta larangan melakukan kejahatan merupakan bukti riil yang harus menjadi pijakan dan tauladan dalam bersikap.
Kita memiliki Undang-Undang Dasar 1945 dengan dasar hukum Pancasila dan kekuatan keberagaman Bhinneka Tunggal Ika. Jika saat ini, masih ditemukan persoalan danoligarki keperpihakan terhadap kepentingan asing, tentu dasar berpikir bukan logika sebagai anak bangsa, namun berpotensi menjadi antek penjajah.
Sekali lagi, siapa pun yang terlihat dalam berbagai kebijakan di negeri ini harus punya niat suci, bukan sekedar ingin mengolkan tujuan partai, golongnan apalagi mempertebal kekayaan pribadi untuk melanggengkan kekuasaan. Jadikan momentum hijriyah sebagai kesempatan mengabdi dan berbagi bahwa negeri ini merupakan warisan dari pendahulu yang harus diberikan kepada generasi mendatang dengan penuh tanggung jawab. Semoga hidayah Allah selalu menyertai kita bersama, khususnya para pemimpin bangsa. (*)